Selasa, 09 September 2008

Menciptakan Anak Pintar Sejak Dalam Kandungan

 
 

 

Menciptakan Anak Pintar Sejak Dalam Kandungan

Adalah hal yang sangat naif, ketika seorang anak menjadi bodoh, nakal,
pemberang, atau bermasalah, lalu orang tua menyalahkan guru, pergaulan
di sekolah, dan lingkungan yang tidak beres. Tiga faktor itu hanya
berperan dalam proses perkembangan anak, sedangkan bakat anak itu
menjadi bodoh, nakal, atau pemberang justru terletak dari bagaimana
orang tua memberikan awal kehidupan si anak tersebut.

Bukan hal aneh bahwa seorang anak dapat dididik dan dirangsang
kecerdasannya sejak masih dalam kandungan. Malah, sejak masih janin,
orang tua dapat melihat perkembangan kecerdasan anaknya. Untuk bisa
seperti itu, orang tua harus memperhatikan beberapa aspek, antara lain
terpenuhinya kebutuhan biomedis, kasih sayang, dan stimulasi. Hal ini
diungkap dokter spesialis anak, dr Sudjatmiko, MD SpA.

Bicara tentang kecerdasan, tentu saja tidak bisa lepas dari masalah
kualitas otak, sedangkan kualitas otak itu dipengaruhi oleh sejumlah
faktor. Secara prinsip, menurut Sudjatmiko, perkembangan positif
kecerdasan sejak dalam kandungan itu bisa terjadi dengan memperhatikan
banyak hal. Pertama, kebutuhan-kebutuhan biologis (fisik) berupa
nutrisi bagi ibu hamil harus benar-benar terpenuhi. Seorang ibu hamil,
gizinya harus cukup. Artinya, asupan protein, karbohidrat, dan
mineralnya terpenuhi dengan baik.

Selain itu, seorang ibu hamil tidak menderita penyakit yang akan
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungannya.
Kebutuhan nutrisi itu sendiri, sebenarnya bukan hanya ketika ibu
mengandung, melainkan ketika ia siap untuk mengandung pun sudah harus
memperhatikan gizi, makanan, dan komposisi nutrisinya harus lengkap,
sehingga ketika ia hamil, dari segi fisik sudah siap dan proses
kehamilan akan berlangsung optimal secara nutrisi.

Tapi, memang di Indonesia atau di negara-negara berkembang pada
umumnya–boleh dikatakan sangat jarang ada keluarga yang mempersiapkan
kehamilan. Malah, kerap kehamilan dianggap sebagai suatu yang
mengejutkan. Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara maju. Inilah
yang cenderung menjadi penyebab awal mengapa anak-anak yang lahir
kemudian tidak berkualitas, karena orang tua seakan tidak siap dalam
segala hal untuk memelihara anaknya.

Faktor kedua adalah kebutuhan kasih sayang. Seorang ibu harus menerima
kehamilan itu, dalam arti kehamilan yang benar-benar dikehendaki.
Tanpa kasih sayang, tumbuh kembangnya bayi tidak akan optimal. "Si ibu
hamil harus siap dan dapat menerima risiko dari kehamilannya," kata
mantan Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Anak Indonesia itu. "Risiko
itu, misalnya, seorang wanita karier yang hamil, merasa terbebani dan
khawatir akan mengganggu pekerjaannya. Ia sebenarnya ingin hamil, tapi
juga merasa terganggu dengan kehamilannya itu. Kondisi seperti ini
tidak kondusif untuk merangsang perkembangan bayi dalam kandungannya,"
tambahnya.

Selain itu, menurut Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ini, ada faktor psikologis yang memengaruhi perkembangan kecerdasan
bayi, yaitu apakah si ibu hamil menikah secara resmi atau kawin lari.
Pernikahannya direstui atau tidak, dan apakah ada komitmen antara
istri dan suami. Tanpa komitmen di antara keduanya, kehamilan itu bisa
dianggap mengganggu.

Juga harus ada support (dukungan). Tanpa support, walaupun ada
komitmen dari suami dan orang tua dapat mengurangi perkembangan dan
rangsangan kecerdasan bayi dalam kandungan. "Jadi, variabel kasih
sayang tadi adalah komitmen dengan suami, serta support dari orang tua
dan keluarga, sehingga seorang ibu dapat menerima kehamilannya dengan
hati tenteram," lanjut Sudjatmiko.

Faktor ketiga adalah adanya perhatian penuh dari si ibu hamil terhadap
kandungannya. Ia dapat memberikan rangsangan dan sentuhan secara
sengaja kepada bayi dalam kandungannya. Karena secara emosional akan
terjadi kontak. Jika ibunya gembira dan senang, dalam darahnya akan
melepaskan neo transmitter zat-zat rasa senang, sehingga bayi dalam
kandungannya juga akan merasa senang.

Sebaliknya, bila si ibu selalu merasa tertekan, terbebani, gelisah,
dan stres, ia akan melepaskan zat-zat dalam darahnya yang mengandung
rasa tidak nyaman tersebut, sehingga secara tidak sadar bayi akan
terstimuli juga ikut gelisah. "Yang paling baik adalah stimuli berupa
suara-suara, elusan, dan nyanyian yang disukai si ibu. Hal ini akan
merangsang bayi untuk ikut senang. Berbeda jika si ibu melakukan
hal-hal yang tidak disukainya, karena itu sama saja memberikan
rangsangan negatif pada bayi," ujar Sudjatmiko.

Tapi, stimuli itu sendiri lebih efektif bila kehamilan sudah menginjak
usia di atas enam bulan. Sebab, pada usia tersebut jaringan struktur
otak pada bayi sudah mulai bisa berfungsi.

Untuk mendapatkan kondisi-kondisi itulah, seorang ibu hamil harus
tetap menjaga nutrisi yang didapat dari makanan sehari-hari. Bahkan,
perlu diimunisasi, misalnya dengan suntik TT. Lakukan juga konsultasi
rutin dengan dokter secara berkala. Mula-mula sekali sebulan, dan pada
bulan terakhir menjelang kelahiran (partus), diperketat menjadi tiga
minggu sekali, lalu dua minggu sekali, dan bahkan mendekati partus
menjadi setiap minggu.

Sudjatmiko juga menyarankan untuk tidak meminum obat-obatan yang
katanya bisa merangsang perkembangan dan kecerdasan otak bayi.
Obat-obatan semacam itu hanya omong kosong. "Pemberian obat semacam
itu percuma saja, dan tidak berpengaruh apa-apa," katanya. "Yang
penting, ciptakan saja lingkungan mendidik, yaitu tiga faktor tadi.

Sementara itu, psikolog anak Dra Surastuti Nurdadi juga mengungkapkan
pendapat yang sama. Stimulasi positif, menurutnya, memang dapat
meningkatkan kecerdasan anak sejak dalam kandungan. Dari stimulasi
ini, diharapkan ketika anak tumbuh, bukan hanya menjadi cerdas,
melainkan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. "Stimulasi
menimbulkan kedekatan antara ibu dan anak.

Bahkan, lanjut Surastuti, bayi masih dalam kandungan bisa distimuli
dengan diperdengarkan musik klasik, diajak berbicara, dan diberikan
elusan penuh kasih sayang. Orang tua juga harus siap dan berusaha
mengajarkan cara anaknya bersosialisasi dengan dunia luar ketika ia
masih di dalam rahim.

Tapi, mengapa musik klasik? Pendapat semacam ini memang terus menjadi
topik bahasan. Musikus hebat seperti Adhi MS, pimpinan Twilite
Orchestra, juga meyakini musik klasik dapat merangsang kecerdasan bayi
sejak dalam kandungan. Bahkan, untuk jenis musik yang `merangsang
bayi' ini sudah banyak dijual di toko-toko kaset tertentu.

Tapi, untuk lebih tuntasnya kupasan mengenai hal itu, coba kita simak
penuturan Surastuti yang juga dosen di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia ini. Musik klasik, katanya, memiliki berbagai macam harmoni
yang terdiri dari nada-nada. Nada-nada inilah yang memberikan
stimulasi berupa gelombang alfa. Gelombang ini memberikan ketenangan,
kenyamanan, dan ketenteraman, sehingga anak dapat lebih berkonsentrasi.

"Menurut beberapa penelitian, musik klasik memang termasuk metode yang
tepat. Anak menjadi siap menerima sesuatu yang baru dari
lingkungannya," ujar pengasuh rubrik konsultasi di Klinik Anakku ini.
Tapi, jangan coba-coba memperdengarkan musik-musik keras kepada bayi
dalam kandungan. Konon, justru menyebabkan timbulnya kebingungan pada
si jabang bayi!

Sumber : Media Indonesia

__._,_.___

Tidak ada komentar:

Facebook