Saya menulis di status facebook saya begini. Kira-kira saja, saya sendiri lupa kalimat lengkapnya. ” Lagi mikir hebat banget, kok ada yang berani jadi pendeta. Berkoar-koar tentang kebenaran, tetapi ia sendiri tahu itu tak bisa diterapkan, bahkan untuk dirinya sendiri. Itu profesi unik, bukan munafik.”
Setelah itu, komentar yang berdatangan banyak meski tak bertubi-tubi. Isinya macam-macam dan yang paling unik ada dua. Pertama, nobody is perfect. Itu yang paling banyak dijadikan komentar dan membuat saya bingung kok komentarnya jadi demikian karena buat ukuran IQ saya yang biasa-biasa saja ini, saya tak bisa melihat korelasi antara tulisan di status dan kalimat itu. Tetapi, biarlah. Itu hak semua orang untuk memberi komentar. Ternyata komentar yang saya pikir enggak nyambung itu malah jadi inspirasi untuk tulisan pada hari Minggu ini.
Yang kedua, komentar dari seorang pria, dan buat saya, komentarnya paling lucu dan dalam. Kalimatnya singkat dan jelas. Jelas sindirannya, maksudnya. ”Itu seperti orang gundul jualan minyak rambut.” Tetapi, karena yang paling banyak adalah alasan nomor satu, jadi saya putuskan suara terbanyak saja yang jadi sumber ide.
”Angel and Demon”
Satu malam tepat dua puluh empat jam sebelum saya menyetor naskah ini, saya leyeh-leyeh di sofa ruang tamu sambil menyantap spageti campur ikan makarel karena maunya dicampur dengan ikan roa, tetapi tak ada waktu ke rumah makan Manado. Saat itu saya berpikir, kalau saya mati malam itu, bakal masuk surga enggak, ya? Saya mengalami dilema semalaman itu. Karena dalam tubuh saya, ada dua hal yang saling tarik-menarik. Kutub negatif dan positif. Kebaikan dan keburukan.
Saya berusaha sebisa mungkin menjadi manusia yang berakhlak seperti diinginkan orangtua dan negara. Kan, harus Pancasilais, katanya. Katanya siapa saya juga lupa. Berjiwa Pancasila. Saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari kalau saya mau berubah ke arah yang lebih benar. Cuma saja, pergumulan secara duniawi dan spiritual membuat saya menjadi manusia yang tak beda dari bunglon. Kadang jadi malaikat, tetapi sering juga jadi anak buah setan.
Saya berbagi pengalaman hidup dekat dengan Tuhan ke mana-mana. Dari mimbar gereja sampai di beberapa ruang rapat beberapa perusahaan besar. Wah… saya kalau sudah bicara, tak bisa berhenti, apalagi kalau bercerita tentang betapa baiknya Tuhan. Sampai orang terpesona dan bilang, ” Wah, Mas, sampean itu memang hebat, dipilih sama Tuhan.”
Akan tetapi, mereka tak tahu siapa saya sesungguhnya. Sepulang dari sana, saya tergoda melakukan hal-hal yang melenceng dari yang saya bagikan. Hidup saya seperti kodok dan bunglon. Di dua dunia. Dunia yang berbeda secara ekstrem.
Contoh lain. Saya mau jadi warga yang baik dengan membayar pajak tepat waktu dengan nilai yang benar. Tidak dimanipulasi meski tak ada satu orang pun percaya. Tetapi, alangkah susahnya membayar uang bulanan ke rumah ibadah. Ada saja alasannya.
Sampai saya pikir, apa perlu rumah ibadah itu menerapkan tenggat waktu seperti departemen pajak berikut dendanya. Meski pada akhirnya, kalaupun itu diterapkan, bisa jadi saya tepat membayar, tetapi itu karena takut ada yang mau menghukum, bukan karena kesadaran sendiri sebagai manusia yang sudah dianugerahi berkat berlimpah oleh Sang Pencipta.
Saya berteriak-teriak tentang kebenaran. Misalnya saja, jangan berzinah. Setelah saya mengeluarkan energi untuk berteriak, saya justru yang pertama berzinah. Begitu banyak ciptaan Tuhan yang membuat mata saya berkunang-kunang dan mulai berpikir yang macam-macam melalui pikiran saya. Dan kalau ditanya mengapa itu terjadi, saya juga bingung.
Saya disuruh hidup seia sekata, saya malah hidup tidak seia sekata. Alasannya bosan. Hidup itu perlu variasi, harus penuh dinamika. Kalau semua seia sekata, jadi enggak lucu, maka perbedaan pendapat yang awalnya membuat hidup jauh lebih hidup, malah membuat saya membangun kelompok-kelompok tersendiri. Dan menjadi ekstrem karenanya dan marah saat orang tak setuju dengan saya. Kemudian mulai melakukan kegiatan seperti pemilihan umum presiden dan wakil presiden, mengajak orang bergabung dengan kelompok saya yang saya anggap paling tokcer programnya.
Saingan bunglon
Benarkah kalimat nobody is perfect itu? Benarkah ketidaksempurnaan sebagai manusia merupakan alasan untuk dimaklumi saya boleh jahat dan saya boleh tidak memaafkan? Karena sebagai manusia, saya toh tahu tak akan pernah sempurna, artinya angel dan demon merupakan satu paket di dalam diri saya. Karena keduanya itulah saya disebut manusia, bukan Tuhan. Tetapi, benarkah itu? Benarkah ketika hari penghakiman datang dan Sang Pencipta menanyakan bagaimana saya hidup dan mengevaluasi hidup saya, saya dapat mengajukan kalimat itu?
Kalimat itu telah membingungkan saya karena saya sempat senang bisa bercerita dengan lantang soal kebenaran, tetapi bisa korupsi dengan sejuta alasan dan direkayasa menjadi kebenaran. Saya kan hanya manusia. Tak lama setelah itu, saya takut lagi. Kalau saya mati malam itu, apa kalimat seperti ketok magic itu bisa saya pakai?
Kalimat itu benar-benar memiliki kekuatan luar biasa, kekuatan yang membuat saya malam itu menelan spageti sambil bingung. Karena habis makan, saya menjatuhkan piring tak sengaja, dan saya naik pitam, kalimat yang keluar dari mulut malam itu, kalau saya tulis, koran ini bakal dibredel, termasuk saya juga. Tetapi, pukul delapan malam keesokan harinya, saya memberi kesaksian tentang betapa baiknya Sang Pencipta. Sekarang saya baru tahu kalau bunglon punya saingan.
Samuel MuliaPenulis Mode dan Gaya Hidup
KILAS PARODI
Inilah Anda dan Saya yang Sesungguhnya
1. Jangan pernah berharap Anda bakal tidak mengecewakan orang lain. Anda hanya manusia biasa. Biasa berbuat baik, biasa berbuat tidak baik. Kalau ada yang menasihati Anda berbuat baik, tetapi Anda tahu ia hanya ingin kelihatan baik, diam saja, senyum saja, tak usah mencibir.
2. Kalau Anda mau berbuat baik, biarlah Anda mencobanya, jangan menyerah kalau ada yang seperti teman saya, bilang begini kepada teman saya dan tak berani langsung pada saya. ”Bilang sama Samuel, tuh, kalau belum beres kelakuannya dan belum waras mulutnya, enggak usah sok jadi pendeta.” Padahal, ia tahu saya hanya manusia biasa, yang bisa beres dua hari dan tidak beres lima hari.
3. Anda dan saya ini manusia yang naik-turun. Kadang di atas dan kadang di bawah. Jadi, kalau lagi di bawah jangan mau dipaksa untuk di atas. Nanti Anda dan mereka yang menyuruh Anda ke atas akan kecewa karena Anda bukan man for all seasons. Sama seperti saya, ada waktunya saya akan membuat Anda tak bisa tertawa dan membuat perut Anda terpingkal-pingkal, tetapi malah membuat Anda mau muntah. Terima saja.
4. Saya membiasakan untuk tidak kaget ketika membaca David Carradine meninggal dengan cara yang saya tak pernah bayangkan akan dilakukan manusia macam sang aktor legendaris itu. Juga semasa kecil dahulu saat saya membaca Marlia Hardi, ibu bijaksana yang meninggal dengan cara tragis. Sama seperti mereka, saya dan Anda adalah manusia penuh kejutan. Jangan Anda terkejut kalau suatu hari melihat saya tewas dalam keadaan yang… gitu deh dan berkata: ”Dasar, ba----an, tukang tipu, ternyata lo memang enggak waras juga, ya….”
5. Ini pendapat saya, kalau Anda tak setuju, ya enggak apa-apa. Saya dan Anda justru sempurna. Karena Anda dan saya bisa jadi angel dan bisa jadi demon. Itu kesempurnaan di tingkat manusia. Makanya, jangan lagi percaya kalau ada orang yang mengatakan nobody is perfect. Tetapi, demon di tempat Anda bisa dikurangi atau diminimalkan, tak bisa dihilangkan, dan angel-nya bisa dimaksimalkan. Jangan dibolak-balik. Yang boleh dibolak-balik hanya martabak. Kalau Anda mau dibolak-balik dalam urusan ”lain”, yaa… itu mah urusan Anda. Saya sudah pernah kok jadi ”martabak”. ”Enggak, pakai telor ya, Mas.” Itu suara yang tak perlu digubris.
6. Di tempat saya beribadah, ada doa pengakuan dosa. Dulu saya pikir kalau sudah ada fasilitas mulia macam itu tersedia, sayang kalau tak dimanfaatkan semaksimal mungkin. Maka, saya berusaha berbuat dosa sebanyak mungkin. Itu keliru saudara-saudara. Saya tak tahu apa pendapat mereka yang menulis kalimat nobody is perfect. (Samuel Mulia)