Milist Indosingleparent diperuntukkan bagi orang tua tunggal yg berkeinginan untuk hidup mandiri dan mengasuh anaknya sendiri. Silahkan hubungi kami untuk bergabung di milis / komunitas atau bila anda mempunyai masalah mengenai singleparent di Telp/SMS : 0857.100.94.214. Email : moderator.isp & g m a i l.com (sambung)
Dari kisah ini, banyak pesan moral yang dapat dipakai sebagai pelajaran:
1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat Kita.
2. Baik Dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu satunya ukuran.
5. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan.
Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat IA harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang Ada di bawahnya.Pekerja itu berteriak-teriak, tetapi temannya tidak bisa mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin Dan orang-orang yang bekerja, sehingga usahanya sia-sia saja.
Oleh karena itu untuk menarik perhatian orang yang Ada di bawahnya, IA mencoba melemparkan uang logam di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu Lalu bekerja kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang kedua pun memperoleh hasil yang sama. Tiba-tiba IA mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu itu tepat mengenai kepala temannya, Dan karena merasa sakit, temannya menengadah ke atas? Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesannya.
Sahabat, terkadang Tuhan menggunakan cobaan-cobaan ringan untuk membuat Kita menengadah kepadaNya. Seringkali Tuhan melimpahi Kita dengan rahmat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat Kita menengadah kepadaNya. Karena itu, agar Kita selalu mengingat KepadaNya, Maka Tuhan sering menjatuhkan "batu kecil" kepada Kita
From : Wulan Julia
Dari sebuah artikel menarik tentang teknik berburu monyet di hutan-hutan Afrika. Caranya begitu unik. Sebab, teknik itu memungkinkan is pemburu menangkap monyet dalam keadaan hidup-hidup tanpa cedera sedikitpun. Maklum, ordernya memang begitu. Sebab, monyet-monyet itu akan digunakan sebagai hewan percobaan atau binatang sirkus di Amerika.
Cara menangkapnya sederhana saja. Sang pemburu hanya menggunakan toples berleher panjang Dan sempit. Toples itu diisi kacang yang telah diberi aroma. Tujuannya,agar mengundang monyet-monyet datang. Setelah diisi kacang, toples-toples itu ditanam dalam tanah dengan menyisakan mulut toples dibiarkan tanpa tutup.
Para pemburu melakukannya di sore Hari. Besoknya, mereka tingal meringkus monyet-monyet yang tangannya terjebak di dalam botol tak bisa dikeluarkan. Kok, bisa? Tentu Kita sudah tahu jawabnya.
Monyet-monyet itu tertarik pada aroma yang keluar dari setiap toples. Mereka mengamati lalu memasukkan tangan untuk mengambil kacang-kacang yang Ada di dalam. Tapi karena menggenggam kacang, monyet-monyet itu tidak bisa menarik keluar tangannya Selama mempertahankan kacang-kacang itu, selama itu pula mereka terjebak. Toples itu terlalu berat untuk diangkat. Jadi, monyet-monyet itu tidak akan dapat pergi ke mana-mana !
Mungkin Kita akan tertawa melihat tingkah bodoh monyet-monyet itu. Tapi, tanpa sadar sebenarnya Kita mungkin sedang menertawakan diri sendiri. Ya, kadang Kita bersikap seperti monyet-monyet itu. Kita mengenggam erat setiap permasalahan yang Kita miliki layaknya monyet mengenggam kacang.
Kita sering mendendam, tak mudah memberi maaf, tak mudah melepaskan maaf. Mulut mungkin berkata ikhlas, tapi bara amarah masih Ada di dalam dada. Kita tak pernah bisa melepasnya.
Bahkan, Kita bertindak begitu bodoh, membawa "toples-toples" itu ke mana pun Kita pergi. Dengan beban berat itu, Kita berusaha untuk terus berjalan. Tanpa sadar, Kita sebenamya sedang terperangkap penyakit hati yang akut.
Sahabat, sebenarnya monyet-monyet itu bisa selamat jika mau membuka genggaman tangannya.
Maryam, seorang guru sekolah dasar mengajarkan satu permainan yang sungguh menarik untuk murid-muridnya. Setiap murid diminta membawa tas plastik yang berisi pisang yang tertulis nama orang yang paling mereka benci ke kelas pada esok hari. Jadi, jumlah pisang yang perlu dibawa bergantung kepada jumlah orang yang dibenci.
Keesokan harinya, setiap murid membawa tas plastik berisi pisang masing-masing.
"Sekarang simpanlah pisang-pisang kalian itu. Jangan lupa bawalah kemana saja kalian pergi selama seminggu. Inilah permainannya. Setelah seminggu, kita akan lihat hasilnya" tandas Ibu guru Maryam. Anak-anak tersebut menyimpan pisang mereka di dalam tasnya masing-masing.
Hari demi hari berlalu, pisang tersebut mulai berbintik-bintik dan akhirnya menjadi busuk. anak-anak itu mulai protes dan marah. Mereka tidak menyukai permainan itu lagi karena selain tas berat, badan pun berbau busuk.
Seminggu pun berlalu, Pagi harinya lagi-lagi para murid Maryam suda bersorak. Permainan sudah tamat. Tidak ada lagi beban dan bau busuk yang perlu mereka bawa.
"Oke semua, sekarang ibu tanya apa rasanya membawa pisang dalam tas ke
Dengan tersenyum penuh arti Maryam menjelaskan kepada murid-muridnya
"Itulah sebenarnya yang terjadi jika kita menyimpan perasaan benci pada orang lain dalam hati. Bau busuk kebencian itu akan mencemari hati dan kita akan membawanya ke mana saja kita pergi. Jika kalian saja tidak tahan dengan bau pisang busuk hanya untuk seminggu, cobalah membayangkan apa yang akan terjadi jika kalian menyimpan kebencian sepanjang hidup kalian "
Maryam mengingatkan anak muridnya supaya membuang jauh-jauh perasaan benci daripada membebani hidup. Memaafkan adalah yang terbaik. Menyayangi lebih baik daripada membenci.
Sahabat, jadi jangan letak pisang dalam tas. Dan jangan simpan kebencian, dendam kesumat dan apa-apa yang tidak enak dalam hati. Seperti pisang yang makin membusuk didalam tas itu, begitu juga hati.
From : Wulan Julia
Memang ada pandangan psikologi mutakhir yang menyatakan orang bisa hidup lebih bahagia setelah bercerai. Bahwa perceraian bukan akhir kehidupan suami istri. Namun, orangtua yang bercerai harus tetap memikirkan bagaimana membantu anak mengatasi penderitaan akibat ayah Ibunya berpisah.
Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya terus meningkat. Maraknya tayangan infotainment di televisi yang menyiarkan parade Artis Dan public figure yang mengakhiri perkawinan mereka melalui meja Pengadilan, seakan mengesahkan bahwa perceraian merupakan tren. Sepertinya kesakralan Dan makna perkawinan sudah tidak lagi berarti. Pasangan yang akan bercerai sibuk mencari pembenaran akan keputusan mereka untuk berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada Yang bakal sangat menderita dengan keputusan tersebut, yaitu anak-anak.
Namun, fenomena perceraian marak terjadi bukan hanya di kalangan artis atau public jIgure saja. Di dalam keluarga sederhana, bahkan di dalam Lingkungan pendidik, lingkungan yang tampak religius, perceraian juga Banyak terjadi.
Salah satunya terjadi pada Pak Edy (bukan nama sesungguhnya) ,
Sambil bertanya, sekilas ia menjelaskan kesulitannya mengasuh anak satu-satunya yang berusia empat tahun. Doni, nama anak itu, menjadi sangat nakal dan tidak mau ditinggal bekerja oleh ayahnya. Di akhir Cerita, Pak Edy baru mengaku bahwa ia telah berpisah dengan istrinya karena ketidakcocokan.
Pada kisah lainnya, Ayu, bocah berumur delapan tahun, mengalami perubahan sangat memprihatinkan setelah orangtuanya bercerai. Ayu enggan berangkat ke sekolah. Sebab, di lingkungan dia belajar itu banyak temannya yang bertanya-tanya tentang kasus perceraian orangtuanya.
Ayu menjadi malu, merasa dirinya sangat buruk karena memiliki orangtua yang bercerai. Dalam hati Ayu juga merasa marah kepada ayah dan ibunya kenapa mereka sering bertengkar dan saling marah. Akibatnya, sulit baginya mengharapkan bisa bepergian sekeluarga ke mal atau keluar kota untuk berlibur, seperti yang dialami teman-temannya.
Sejak perceraian itu semangat belajar Ayu menurun drastis, Sehingga nilai rapornya pun merosot. Anak yang tadinya gembira dan ceria itu berubah diam, pasif, dan murung, dengan badan yang juga semakin kurus.
Reaksi Berbeda
Seperti yang terjadi pada Doni Dan Ayu, perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-anak.
Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai Oleh orangtuanya, namun tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak mereka.
Reaksi anak berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya. Semua tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum terjadi perceraian.
Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka.
Bagi anak-anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupannya di masa kini dan di masa depan. Anak-anak yang ayah-ibunya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih menderita daripada orangtuanya sendiri.
Akibat Emosional
Dalam suatu perceraian, orangtua mencurahkan seluruh waktu dan uangnya untuk saling bertikai mengenai harta, tunjangan uang yang akan diberikan suami setelah bercerai, hak pemeliharaan anak, dan hak-hak lain.
Sementara itu, mereka hanya mencurahkan sedikit waktu atau usaha untuk mengurangi akibat emosional yang menimpa anak-anaknya. Pengacara yang terlibat dalam perceraian tersebut, sesuai tugasnya memang hanya memfokuskan diri pada masalah hukum saja. Biasanya mereka kurang memperhatikan akibat emosional pada diri anak-anak yang jadi Korban dalam peristiwa perceraian tersebut.
Mereka umumnya kurang ikut memikirkan bagaimana memberikan konseling Kepada kliennya, dalam hal ini orangtua yang mau bercerai, tentang cara-cara terbaik dalam membantu anak-anak mengatasi dan menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.
Walaupun orangtua telah berusaha menyelesaikan perceraian dengan hati-hati dan damai, tidak Ada cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari akibat negatif terhadap anak-anak. Oleh karena itu, menjadi penting bagi orangtua yang dalam proses Perceraian untuk sebaik mungkin mengambil usaha-usaha khusus untuk Meminimalkan penderitaan dan kesusahan anak-anaknya. Ini membutuhkan perhatian dan usaha aktif dari pihak orangtua.
Sampai Dua Tahun.
Umumnya anak-anak yang orangtuanya bercerai dilanda perasaan-perasaan kehilangan (hilangnya satu anggota keluarga: ayah atau ibunya), gagal, kurang percaya diri, kecewa, marah, dan benci yang amat sangat.
Richard Bugeiski Dan Anthony M. Graziano (1980) menyatakan bahwa dua tahun pertama setelah terjadinya perceraian merupakan masa-masa yang amat sulit bagi anak-anak. Mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, bersikap bermusuhan, agresif depresi, dan dalam beberapa kasus Ada yang bunuh diri.
Anak-anak yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan, dan beberapa penyakit kulit.
Riset menunjukkan, setelah kira-kira dua tahun mengalami masa sulit dengan perceraian orangtuanya, sampailah anak-anak tersebut ke masa keseimbangan atau masa equilibrium. Di masa itu, kesusahan dan penderitaan akut yang mereka alami sejak terjadinya perceraian mulai berkurang.
Anak-anak telah belajar menyesuaikan diri dan melanjutkan kehidupan mereka. Namun, perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka. Selain beberapa dampak di atas, dalam beberapa kasus terjadi anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk menikah.
Dia khawatir perkawinannya nanti akan mengalami nasib yang sama seperti orangtuanya.
Kasus yang lain, anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa jadi membenci laki-laki atau perempuan karena menganggapnya sama dengan ayah atau ibunya yang telah menghancurkan keluarganya.
Yang Perlu Dilakukan.
Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya. Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati anak-anaknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya.
Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut.
Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti tante atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti
ketika belum ada perceraian.