Rabu, 22 Oktober 2008

Ketika Single Parent Mendidik Anak

Share info pas temen kite jalan2 di web..

June 12, 2008, 1:46 pm
http://sismanto.com/2008/06/12/ketika-single-parent-mendidik-anak/

Pada hakekatnya manusia diciptakan menjadi perempuan dan laki-laki.
Keduanya diciptakan agar bisa saling melengkapi guna membangun suatu
sinergi baru yang lebih dan bermanfaat bagi umat manusia. Namun dalam
perkembangannya, dirasakan telah terjadi dominasi oleh satu pihak
terhadap pihak yang lainnya, sehingga menimbulkan diskriminasi,
marjinalisasi, subordinasi, beban ganda, ataupun tindak kekerasan.
Secara statistik, kaum perempuan mendapatkan posisi yang kurang
menguntungkan dalam berbagai aspek kehidupan. Situasi ini salah satunya
terjadi dari hasil akumulasi dan akses dari nilai sosio kultural suatu
masyarakat.
Hubungan yang timpang antara perempuan dan laki-laki perlu diubah secara
struktural menjadi hubungan sosial yang setara. Dalam relasi sosial yang
setara, perempuan dan laki-laki merupakan dua faktor yang sama
pentingnya dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan
bernegara.
Sejalan dengan perkembangan jaman, kaum perempuan mulai menyadari
ketertinggalannya, sehingga mendorong mereka untuk memperjuangkan haknya
dalam mengaktualisasikan dirinya untuk berperan di dalam pembangunan dan
mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki. Namun demikian, disadari
bahwa tanpa keterlibatan laki-laki maka perjuangan kaum perempuan
tersebut tidak akan berhasil dengan baik.
Meminjam tulisannya (Maziyah, 2000), peran dan kedudukan perempuan dalam
pembangunan mulai mendapat perhatian dari pemerintah dengan
dimasukkannya isu perempuan dalam GBHN tahun 1978. Selanjutnya,
dibentuklah lembaga Menteri Peranan Wanita pada tahun 1978 yang kemudian
berubah menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan pada akhir tahun 1999,
dengan harapan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dapat lebih
berperan dalam pembangunan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki telah mendapat pengesahan
dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 1984 tentang "Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan" (ratifikasi
konvensi CEDAW). Setelah itu diterbitkan Surat Keputusan Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita No. 02/Kep/MENUPW/IV/1991 tentang Pengesahan
Pedoman Pelaksanaan Penanganan Peningkatan Peranan Wanita dalam
Pembangunan Bangsa di Pusat dan Daerah, Instruksi Presiden RI No. 5
tahun 1995 tentang "Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan
Daerah", Instruksi Mendagri No. 17 tahun 1996 tentang "Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pengelolaan Program Peningkatan Peranan Wanita dalam
Pembangunan di Daerah".
Ada indikasi bahwa rendahnya pemahaman terhadap konsep gender juga
melanda dunia pendidikan. Rendahnya pemahaman itu logis karena, kata
"gender" belum termasuk kata bahasa Indonesia, terbukti belum menjadi
entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kedua, referensi kata itu
tidak jelas karena bersifat abstrak. Ketiga, dalam kamus bahasa Inggris
kata itu tidak jelas bedanya dengan kata "sex" yang mengacu pada
pengategorian jenis kelamin.
Penjelasan yang mudah diikuti kriteria dan ciri spesifiknya adalah
penjelasan Direktur Perwakilan Oxfam untuk Indonesia, Mansoer Fakih
(1998). Menurut dia, gender harus dibedakan dengan kata sex. Sex adalah
pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan karena itu
melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, pria adalah manusia
berpenis, berjakala, bersperma, dan sejenisnya; sementara wanita adalah
manusia yang memiliki alat reproduksi telur, bervagina, memiliki alat
menyusui, dan sebagainya. Alat-alat itu secara biologis melekat pada
wanita untuk selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, secara
permanen tidak berubah, dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan
Tuhan (kodrat).
Gender adalah pembagian kategori pria dan wanita yang dikonstruksi
secara sosiokultural. Misalnya, wanita secara sosiokultural dianggap
lemah lembut, emosional, keibuan, dan sebagainya; sedangkan pria
dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut tidak kodrati. Karena itu tidak abadi dan dapat
dipertukarkan. Maka ada pria emosional, lemah lembut, dan sebagainya;
atau kebalikannya ada wanita kuat, rasional, dan sebagainya. Dengan
demikian, semua sifat yang dapat dipertukarkan antara wanita dengan pria
dan yang dapat berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari satu
kelas sosial ke lain kelas, merupakan gender.
Dampaknya, anggapan keliru itu mempengaruhi keyakinan tentang bagaimana
seharusnya pria dan wanita berpikir dan bertindak sesuai dengan
ketentuan sosiokultural tersebut. Itulah yang dimaksud dengan bias
gender. Hal ini tidak hanya terdapat pada masyarakat secara keseluruhan.
Namun juga dalam keluarga di mana anak pertama kali mengenal pendidikan.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat
berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan
kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang
ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam
keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian
adalah praktik pengasuhan anak. Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat
Brown (1961: 76) yang mengatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang
pertama kali menerima kehadiran anak.
Orang tua mempunyai berbagai macam fungsi yang salah satu di antaranya
ialah mengasuh putra-putrinya. Dalam mengasuh anaknya orang tua
dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungannya. Di samping itu, orang
tua juga diwarnai oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara,
membimbing, dan mengarahkan putra-putrinya. Sikap tersebut tercermin
dalam pola pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda, karena orang tua
mempunyai pola pengasuhan tertentu. Pola asuhan itu menurut Stewart dan
Koch (1983: 178) terdiri dari tiga kecenderungan pola asuh orang tua
yaitu: (1) pola asuh otoriter, (2) pola asuh demokartis, dan (3) pola
asuh permisif.
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat
berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap,
perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru
oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar
diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal
demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang
tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.
Dalam melakukan tugas-tugas perkembangannya, individu banyak dipengaruhi
oleh peranan orang tua tersebut. Peranan orang tua itu memberikan
lingkungan yang memungkinkan anak dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangannya. Namun demikian, banyak anak yang tidak mendapatkan
kasih sayang orang tuanya secara lengkap. Diantara mereka hanya
mendapatkan kasih sayang dari ibunya (single parent) saja dalam hal ini
seorang ibu memerankan dua hal sekaligus, sebagai seorang ibu dan
seorang ayah.
Keadaan memang bertambah sulit, lantaran secara fitrah ibu akan
mengalami guncangan dahsyat atas kematian suaminya. Si anakpunakan
mengalami guncangan serupa, terutama dengan kesiapan mental yang jauh
lebih minim untuk menerima kenyataan itu. Apalagi, bila ia belum
memahami makna dan hakikat kematian. Belum lagi, jika si anak mengalami
kekeurangan-kekurangan, baik secara fisik maupun mnetal. Disamping itu,
peran ganda sebagai suami diantaranya mencari nafkah penghidupan
sehari-hari, akan banyak menyita waktu ibu, sehingga sempit baginya
untuk mendidik si anak.
Ibu memeiliki peran yang cukup penting dan memainkan peran dalam
menentukan proses pembimingan dan pembangunan kepribadian anak pasca
kematian suami. Persoalan di mana kaum ibu pasca kematian suaminya
memeiliki dua tugas yang amat penting, keibuan dan juga kebapakan.
Kemampuan menggabungkan dan menjalankan kedua tuas itu dengan baik dan
benar harus dimiliki oleh ibu yang mempunyai berstatus single parent.
Pasca kematian suami, seornag wanita mempunyai dua kedudukan sekaligus
sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan sebagai ayah. Ia akan
memiliki dua bentuk sikap, sikap sebagai ibu yang herus bersikap lembut
kepada anak-anaknya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan memegang
kendali aturan dan tata tertib, serta berperan sebagai penegak keadilan
dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan pernyataan Qaimi (2003),
bahwa peran sebagai ibu menjadi sumber kasih sayang. Sosok ibu adalah
teman bermain anak yag pertama, sekaligus sebagai orang yang pertama
kali bergaul dengannya. Terakhir peran ibu sebagai ayah, pasca kematian
suaminya, seorang ibu walaupun dia perempuan harus menduduki posisi
ayahdan bertanggungjawab dan menjaga perilaku serta kedisiplinan
anaknya. Dengan tugas baru yang diembannya itu, ia memiliki
tanggungjawab yang jauh lebih sulit dan berat ketimbang sebelumnya.
Harapan kita ke depan, tidak akan ada ibu single parent. Seyogyanya
sebuah keluarga tetap utuh sampai akhir hayatnya. Namun, apa hendak di
kata bagaimaapun juga "single parent tidak saja ada. Wallahu 'Alam
bishowab.

Sangatta, 13 Juni 2008

Tidak ada komentar:

Facebook