Rabu, 28 Januari 2009

Pelajaran dari Gaza untuk kaum wanita



 


:








Pelajaran dari Gaza untuk kaum wanita
Selasa, 27/01/2009 01:30 WIB Cetak |  Kirim |  RSS  Inilah kisah sebuah
bangsa di atas sepenggal Tanah Suci. Banyak yang pernah terjadi di sana,
akan banyak lagi yang kelak terjadi di sana di akhir zaman ini. Semua harus
belajar dari panggung ini, terutama ummat Islam. Semua sisi harus menjadi
pelajaran, termasuk sisi kemanusiaan sebagai wanita.


Tahun baru 2009 dibuka dengan duka bagi ummat Islam. Perang di Gaza.
Pemandangan yang sangat memilukan. Namun Allah Swt menggelar panggung Gaza
bukan sekedar untuk menjadi tontonan televisi dan obrolan jurnalistik bulan
ini. Inilah kisah sebuah bangsa di atas sepenggal tanah suci. Penduduk Syam
(Palestina, Lebanon, Syria, dan Yordania) memang penduduk yang tangguh.
Banyak yang pernah terjadi di sana, akan banyak lagi yang kelak terjadi di
sana di akhir zaman ini. Semua harus belajar dari panggung ini, terutama
ummat Islam. Semua sisi harus menjadi pelajaran, termasuk sisi kemanusiaan
sebagai wanita.


Dari berita:


- Seorang ibu dari keluarga Samouni di Gaza melahirkan di tengah bom.
(Embedded image moved to file: pic26308.jpg)



- Seorang wanita mengatakan: Tidak, tanah ini milik kami, apapun yang
mereka lakukan tanah ini milik kami, kami akan tetap melawan mereka
(Yahudi).


- Seorang wanita muda pergi ke toko roti untuk antri roti berjam-jam di
tengah hujan bom di Gaza. Ketika ditanya oleh wartawan mengapa ia tetap
pergi ke toko roti padahal tidak aman, ia menjawab: Tinggal di rumahpun
kami di bom sedangkan saya harus membeli roti untuk keluarga di rumah,
jadi, yah, jalani saja, kita hanya mati sekali.


- Seluruh dunia tahu bahwa di tengah perang kali ini ada beberapa blog
dioperasikan dari dalam Gaza, meskipun mereka kesulitan listrik.


- Setiap hari pasar tetap buka, meskipun hanya dua jam sehari, dan meskipun
pasar tersebut pernah di bom Israel saat jam sibuk dengan korban yang tidak
sedikit.


- Selama 22 hari perang, Israel berhasil membunuh 600 orang anak Gaza dari
1300an korban meninggal, tapi selama masa itu lahir 3500 bayi, banyak
wanita Gaza melahirkan kembar, antara kembar dua dan kembar tiga.


Luar biasa, hanya sehari sesudah kedua pihak menyatakan gencatan senjatanya
masing-masing, polisi lalu lintas sudah bertugas di jalan-jalan Gaza,
bahkan sekolah dibuka kembali kurang dari sepekan sesudah itu. Para murid
saling menyapa ketika pertama kali berjumpa: Hei kamu, masih hidup ya?


Wilayah ini sudah tidak punya gedung parlemen, tidak punya kantor polisi
(meskipun polisinya bertugas) dan seluruh gedung pemerintahan sudah pernah
dibom, bahkan masjid-masjid dan rumah sakit serta sekolah tak luput dari
pemboman. Infrastruktur boleh dikatakan sudah hancur tetapi ternyata
struktur masyarakatnya tidak hancur, sistem sosialnya tidak kolaps bersama
gedung-gedungnya. Shalat berjamaah tetap dilaksanakan di tengah hujan bom
di antara reruntuhan bangunan masjid. Bahkan masjid mengumpulkan dana dari
sebagian jama'ah yang masih punya sesuatu untuk disumbangkan kepada
tetangganya yang lebih membutuhkan. Ini sebuah bangsa dengan daya tahan
amat tinggi.


Jangan lupa, sebelum perang digelar Israel sudah mencekik Gaza dengan
blokade selama hampir 2 tahun dan itu menyebabkan semua penduduk Gaza harus
mengurangi jatah makan mereka karena sulitnya bahan makanan.


Dengan berita-berita di atas kita mendapatkan gambaran betapa anak-anak
Palestina dari generasi ke generasi telah ditempa oleh ujian berat dengan
pendamping yang tangguh, para orangtua mereka, para ibu mereka, para ibu
yang tetap menjalankan prinsip kesabaran di tengah ujian yang amat berat.


(Embedded image moved to file: pic16944.jpg)





Jika kita meninjau apa kriteria sabar yaitu:


1.      Tidak lemah mental


2.      Tidak lemah penampilan


3.      Tidak lemah aktivitas, maka inilah yang kita lihat dari wanita
Gaza:


Dari berita-berita yang ada, para ibu Gaza tidak lemah mental ingin
mengalah pada penjajah Israel, kebanyakan berpendapat bahwa perjuangan
melawan penjajahan tetap perlu. Tak ada yang gemetar ketakutan ketika
mendengar deru pesawat pembom di atas kepala mereka. Jika di tanya, mereka
berkata dengan (nada menantang) bahwa mereka tidak takut pada tentara
Israel dan akan melawan dengan senjata alat dapur, jika berhadapan.  Tanda
tak ada kelamahan mental di sini.


Mereka tidak lemah penampilan, tampak bahwa mereka tetap tegak ketika
diwawancarai para wartawan, bahkan mereka masih bisa menyuarakan kekecewaan
mereka pada para pemimpin Arab yang tidak membantu mereka. Bahkan ada yang
mengacungkan tangan ke arah kamera. Sikap tubuh mereka jelas menunjukkan
mereka tidak lemah penampilan, bahkan bagi yang terluka dan sekarat.


Mereka juga tidak lemah aktivitas, sedikit ada kesempatan mereka langsung
beraktivitas, ke pasar berjual beli, memakamkan kerabat, bahkan
bersilaturahim di pasar. Di tengah bom mereka mengantri beli roti dengan
taruhan nyawa. Bahkan ada seorang ibu yang melahirkan di tengah bom dengan
hanya ditolong ibunya dengan penerangan lilin.


Kesimpulan:


1.      Wanita Gaza adalah wanita sabar, ujian apapun yang menimpa tidak
membuat mereka gentar ketakutan apalagi sampai harus dibawa ke rumah sakit
karena stress  sebagaimana wanita Yahudi di Israel selatan.


2.      Ketabahan mereka ternyata didasari pada iman dan ketaqwaan pada
Allah. Kita melihat mereka melarikan rasa frustrasi mereka dengan berdoa
mengangkat tangan kepada Allah mengutuk Israel saat mereka menghadapi rumah
mereka hancur atau keluarga mereka tewas.


3.      Kerasnya keganasan dan permusuhan Yahudi justru membuat mereka
tegak, menggeliat, dan melawan. Perlawanan wanita Gaza bukan dengan
mengangkat senjata, tapi dengan menunjukkan keteladanan dalam sikap berani
menghadapi kenyataan perang keras dan kejam ini di hadapan anak-anak
mereka. Tampak dari raut wajah mereka yang meskipun berurai airmata tapi
tetap berwajah tegar. Dan anak-anak menatap polos setiap lekuk ekspresi
sang ibu. Pendidikan apa lagi yang terbaik dan paling efektif selain dari
pendidikan keteladanan dalam kesabaran. Cobalah amati ekspresi mereka
ketika diwawancarai para reporter, baik semasa masih perang maupun sesudah
masa tenang ketika menceritakan pengalaman mereka.


Kaum ibu tak menyukai perang (kecuali mungkin Tzipi Livni dan Condoleeza
Rice), namun jika perang merupakan takdir bagi bangsanya, kaum wanitalah
yang memikul beban berat sebagai korban. Merekalah yang pertama merasakan
sulitnya keseharian hidup di tengah perang, dari persoalan mencari
kebutuhan sehari-hari hingga menenangkan anak yang ketakutan. Belum lagi
jika mereka adalah korban utama, sebagaimana di Gaza ini. Karena mesin
perang Israel mengejar wanita dan anak-anak bahkan di tempat pengungsian.
(Embedded image moved to file: pic32439.jpg)Kamp pengungsi Jabaliya 1988



Bagi bangsa yang terjajah dan terzalimi seperti ini, masa depan bangsanya
terletak di pundak mereka. Jika kaum ibu Gaza menunjukkan kelemahan mental,
ketakutan yang membuat takluk pada musuh, kelemahan aktivitas yang
menyebabkan mereka tak lagi dapat bergerak menggeliat menjalankan hidup.
Jika itu yang dilihat oleh anak-anak mereka hari ini, maka dapat kita
bayangkan bahwa dalam 10 tahun ke depan di wilayah yang sekarang bernama
Gaza sudah akan berdiri kota wisata Israel dengan nama Yahudi sebagaimana
nama Ashdod, Ashkelon, Sderot, KiryatSmona dll. Itu karena jika mereka
(kaum ibu Gaza hari ini) lemah, maka anak-anak mereka akan tumbuh menjadi
penakut dan pecundang. Tetapi Alhamdulillah sekarang mereka tegar, maka
Insya Allah sampai hari Kiamat-pun bangsa Yahudi tak akan dapat merasa
tenang dengan kezalimannya. Akan selalu ada yang melawan mereka, generasi
ke generasi Palestina yang baru.


Kita harus belajar pada mereka. (San 27012009


                                                                            
                                                                            
                                                                           


__._,_.___

Tidak ada komentar:

Facebook