Jumat, 08 Mei 2009

2nd - - Life is an ongoing dialogue ^^

 



 


Dear, all =)

Sebelumnya, with all due respect, saya amat sangat berterima kasih atas respon, dukungan, semangat, dan juga overview pengalaman dari kakak sekalian di milis yang mau berbagi waktu di tengah padat kesibukan untuk membaca, bahkan memberi tanggapan. Plus yang japri pula ke personal email saya, sampe bertukar alamat keanggotaan fesbukiyah alias facebook, hehehe.. Jujur, saya terharu, senang, terlebih: tidak merasa sendiri di tengah pusaran ini. Saya merasa dihargai dan didengar. Apalagi setelah terkekeh-kekeh sendiri menyimak arah perbincangan sampe ke `ngambek'-nya salah seorang anggota milis yang pengen unsub, hohoho [Mba , jangan unsub ya, kita kan belum kenalan lebih dekat.. kan tak kenal maka tak sayang, hehe…].

Di hari pertama saya membaca dan menyortir semua tanggapan juga tepat di hari yang sama saya mengikuti kegiatan Kamisan yang kerap diadakan KontraS setiap hari Kamis di depan Istana Presiden. Boleh yah saya cerita sedikit.. kebetulan pathway career saya nampaknya [hampir] membawa saya [sudah kali kedua] bekerja di NGO. Kali ini, salah satu NGO, dimana gender issues adalah core business mereka. Terlebih, saya ditawari pekerjaan ini dan mereka demikian welcome dengan keadaan saya. Kantor tempat saya ini juga sering mengadakan event/ program dengan KontraS, Komnas Perempuan, IKOHI, dan organisasi/ LSM nasional/ Intl lainnya yang justru semakin membuat saya merasa "hidup". Nah di acara Kamisan itu [acara ini terinspirasi dari ibu-ibu Las Madres Plaza de mayo di Argentina, yang kehilangan anak-anak/ suami/ kerabat mereka karena kekejaman militer di pertengahan tahun 1970an, yah kurang lebih sama seperti tragedi 1965 di sini] setiap `anggota' baru yang ikut aksi solidaritas tersebut diminta untuk berkesan-pesan. Di sore tanpa persiapan yang jauh dari intelek, saya tiba-tiba diminta untuk memberikan kesan pertama kali mengikuti Kamisan itu. Voila, what a perfect afternoon! Saat itu saya speechless, tergagap-gagap, dan satu lagi: "memalukan", hahahaha.. tapi dengan riuh rendah tepuk tangan dari peserta lain [yang kebanyakan adalah perempuan, dan para ibu –- ibu yang kehilangan anaknya ketika Peristiwa Semanggi, Ibu yang anaknya `dihilangkan' karena kepentingan politis negara yang tidak kalah `adikuasa' dibandingkan Amerika, Ibu yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual, dan sebagainya] yang menyemangati saya "Ayo, maju mba . Semangat mba ..", saya jadi merasa malu sendiri. Malu karena di usia yang masih sangat muda hampir pernah berniat mengalah dan kalah, bahkan `menyerahkan' semua urusan pekerjaan rumah ini pada Tuhan -- Tuhan yang memang tidak pernah tidur dan selalu online, meskipun statusnya: invisible =) – [hampir]  mengamini bahwa sebaiknya tidak perlu dicari-cari lagi si bangsat Wartabone itu, serahkan semua pada Tuhan. Tapi saya kembali berpikir ulang, apakah dengan `menyerahkan' semua urusan pada Tuhan [dalam hal pencarian si bangsat-bangke itu] semua akan baik-baik saja dan saya merasa cukup memperoleh `keadilan'? Hampir pasti jawabannya TIDAK.

Overarching aim to kick back

Prolog di atas sebenarnya saya maksudkan pula untuk menanggapi hampir 90% tanggapan milis yang – kalo boleh saya ambil simpulan, memberikan dukungan dan semangat hebat pada saya namun justru menyarankan saya untuk tutup buku dengan si bangsat-bangke itu. Memang sih itu kembali pada pilihan masing-masing orang, dan saya yakin anggota milis tentunya membebaskan saya untuk memilih, asal prioritas utama adalah [jelas] demi si jabang bayi dulu. Nah baru nanti setelah saya pulih, silahkan kick back, mungkin kurang lebih itu maksud yang dituju kakak sekalian di milis. Tapi saya boleh yah cerita lagi, apa yang tiba-tiba menggugah saya untuk meng-kick back si bangsat-bangke ini. Seminggu lalu, salah seorang senior [sekaligus dosen & mentor] saya memberi tahu kalo di facebook teman suaminya, ia menemukan bahwa si bangke ini masih demikian eksis di dunia maya. Terlebih dengan munafiknya, dia menanggapi salah satu notes mengenai "Kekuatan Asmaul Husna". For God's sake! "Sakit" betul yah ini orang. Dia masih sedemikian ingin `memperlihatkan' kesan suci dan baiknya di hadapan semua orang ketika justru otak kerdil dan dirinya yang berkubang hina itu sebenarnya menutup bau bangkai kreasi kejahatan kelaminnya. Di saat dunia menurut dia berputar dan masih berpihak dengannya, dia memang akan terus melenggang tanpa `sanksi sosial'. Yups itu yang ingin saya kick back, sebagai maneuver tahap pertama. Bahwa dia harus dan pantas mendapat `sanksi sosial' alih-alih melenggang kangkung dengan postulat kebenaran palsu yang dia dengungkan di dunia maya. Oleh karena itu, saya sedang menggodok beberapa tawaran dari salah satu lembaga perempuan yang akan mem-back up saya dalam soalan ini. Saya sedang mempelajari prosedur dan dampak yang akan ditimbulkan -- yang saya yakin dan tidak ragu untuk saya tempuh, Insya Allah. Saya juga mohonkan doanya, semoga urusan ini lancar dan berjalan mudah, Amin.

Life is an ongoing dialogue

Semua yang terjadi di dunia ini pasti bisa didiskusikan dan dibuat menarik untuk diperbincangkan. Saya juga yakin, apa yang saya tulis dan niatan saya untuk kick back si bangke turut memancing respon dari teman-teman di milis ini. Namun semoga dua hal berikut bisa menjelaskan maksud saya:

Pertama, relasi kuasa. Sayangnya, saya memang tidak punya data empiris mengenai berapa banyak perempuan seperti saya dan anggota milis IndoSingleParent lainnya yang mengalami nasib serupa, tapi jika boleh saya berasumsi tentu tidak sedikit, dan sebagian besar dari mereka [sayangnya] masih dalam tembok pembatas patriarkis relasi kuasa laki-laki – perempuan yang tradisional. Bahwa dalam kasus seperti ini, yaitu ketika si perempuan hamil di luar nikah [dan bukan karena kasus perkosaan] itu sama halnya bahwa kedua belah pihak telah setuju dengan segala konsekuensi yang ada [baca: mau sama mau; atas dasar suka sama suka] sehingga jika di kemudian hari si laki-laki bajingan nan bodoh itu pergi tanpa pesan dan abai tanggungjawab sama dengan = derita tanggung sendiri. "Namanya juga perempuan, mau bagaimana lagi"; "Saya akan semakin mempermalukan saya dan keluarga besar saya jika memproses kasus ini, jadi biarlah saja, biar Tuhan yang membalas, Allah toh tidak tidur"; "Posisi kita [perempuan] jelas lemah lah, kenapa juga waktu itu mau?? Ini udah konsekuensi, terima aja, mau bagaimana lagi"… bla… bla… bla… Serangkaian kalimat itu saya dengar dan [pernah] saya yakini di awal-awal saya ada dalam pusaran situasi ini, maka dari itu kenapa di email pertama saya bilang, lumpur hidup ini semakin menarik saya ke dalam dan semakin dalam, yah karena itu tadi saya pernah menjadi bagian dari orang-orang yang turut percaya akan posisi perempuan yang –dilemahkan- karena hakikat ke-perempuan-an nya, padahal kita BERHAK membela hak-hak kebenaran dan keadilan bagi kita. Sedemikian kita percaya dan mau percaya dengan si laki-laki tersebut sehingga kita menyerahkan cinta dan sayang kita, namun alhasil mereka yang mengkhianati kita, mengkhianati cinta dan kepercayaan tulus yang kita berikan. Mereka justru pergi, lari dari kenyataan, `menikmati' normalnya kehidupan setelah mereka mengobrak-abrik kehidupan seseorang. Adil bagi perempuan? Jelas jawabannya TIDAK. Relasi kuasa ini lah yang sangat akrab kita temui di budaya masyarakat Indonesia yang demikian konvensional dan sarat justifikasi. Bahwa semestinya perempuan itu A, B, C, D bla… bla… tanpa melibatkan bagaimana juga semestinya laki-laki ber A, B, C, D bla… bla… yang pada akhirnya `mengharuskan' perempuan –mengalah- dan [harus mau] dipersalahkan, terlebih tidak dianggap korban [terlepas dari tidak sedikit perempuan yang merasa mereka bukan korban]. Padahal, jelas dalam bentuk hubungan seperti ini, ada peran pelaku dan korban. Represi nilai-nilai [atas nama moralitas dan budaya nenek moyang] terhadap perempuan inilah yang kemudian mengisyaratkan bahwa dalam kasus di atas, dua-dua nya salah, dua-dua nya pelaku, BAHKAN dua-dua nya sama-sama bejat lah yaaaa… Gosh, for God's sake! Tidak demikian semestinya nilai-nilai itu dibiarkan. Bagaimanapun juga, dalam hal relasi kuasa ini lah sangat memungkinkan seorang perempuan untuk tidak tampil menyuarakan penderitaan [fisik, mental, finansial, dsb] mereka, sialnya hal ini kemudian mereka amini. Dalam situasi sudah demikian sakit dan menderita, mereka semakin terpuruk dengan justifikasi yang tidak hanya orang-orang lain buat, tapi juga turut mereka iya-kan.

Kedua, impunitas. Salah seorang Sosiolog, Koentjaraningrat pernah menulis laporan ilmiahnya mengenai sifat-sifat masyarakat Indonesia [ditulis pada pertengahan tahun `70an]. Salah satunya adalah permisif. Bahasa gaulnya sih: banyak basa-basi begitu, yah beda di depan, beda di belakang. Itu tulisan tahun 1970an, dan ternyata degradasi nilai itu makin kemari makin terlihat. Degradasi, karena permisif ini kemudian `menghalalkan' segala macam kasus [baik kriminalitas, pelanggaran HAM, pelecehan seksual, dan lain sebagainya] untuk di-petikemaskan dan cukup selesai dengan kata: MAAF. Jika dalam hal relasi kuasa, posisi perempuan sudah demikian –dilemahkan-, apakah juga dalam hal impunitas, kita juga mau dilemahkan..? TENTU TIDAK. Urusan maaf, bisa seumur hidup, dan itu urusan Tuhan. Selesai. Tapi membiarkan pelaku lenggang-kangkung menyebarkan `benihnya' dari satu pot tanaman ke tanaman lain tanpa tanggungjawab dan konsekuensi, jelas sebuah kejahatan yang sangat mungkin ditindak. Saya kagum, sangat kagum pada mereka perempuan yang berhati lembut dan mudah memaafkan, sedemikian mengikhlaskan meskipun guratan luka itu jelas mereka miliki dan derita seumur hidup. Meskipun tidak bisa dipungkiri, murka itu akan tetap bersemayam rapat-rapat di selubung senyum manis mereka. Bahkan, memaafkan sedemikian dianggap lebih mudah ketimbang melupakan. Lalu, untuk apa aturan hukum positif itu dibuat dan para penegak hukum ada jika setiap perkara selesai dengan MAAF… ? Saya memaafkan, namun persoalan itu tidak selesai sampai hanya kata maaf. Maaf BUKAN berarti semuanya selesai dan tidak perlu ada ganjaran bagi si pelaku, bukan..?

Catatan:

Saya bukan feminis [belum mungkin, hehehe], saya perempuan dan pembelajar atas isu-isu gender dan perempuan, jadi yah masih banyak belajar kok. Tapi tulisan ini [sekedar] saya maksudkan sekaligus untuk merespon threads dari mba-mba dan mas-mas di milis yang sudah memberi perhatian pada kisah saya. Thanks a lot … !!!

Cheers,

.

__,_._,___

2 komentar:

manahita mengatakan...

Siapapun yang menulis ini saya setuju, dan setelah membaca tulisan ini saya menjadi semangat lagi untuk berjuang melawan PENJAHAT KELAMIN!!

~vieta~

manahita mengatakan...

siapapun yg menulis ini saya sangat menyetujuinya, dan tulisan ini membakar semangat saya untuk melawan Si Penjahat Kelamin.

~hitta~

Facebook