Jumat, 08 Mei 2009

Kata Mereka Anak Saya Hiperaktif!

 


 


Dari Milis sebelah

Kata Mereka Anak Saya Hiperaktif!

Di sebuah sesi coffea break dalam seminar Parenting yang saya adakan, beberapa orang Ibu mendekat dan curhat tentang permasalahan yang dihadapinya.. Salah seorang ibu memulai percakapan dengan sebuah keluhan “Pak Ronal, saya kewalahan menghadapi anak saya yang tidak bisa diam. Beberapa kali saya ketemu dengan guru-gurunya yang melaporkan bahwa anak saya ketika jam pelajaran suka mondar-mandir di kelas. Tidak bisa diam”. Salah seorang ibu langsung menyambung pembicaraan “Anak saya juga sama Pak, Kata gurunya anak saya termasuk anak yang hiperaktif dan susah konsentrasi, jadinya sekarang anak saya ditempatkan di kelas khusus anak-anak hiperaktif”.

Sayapun bertanya kepada ibu-ibu tadi “Kalau nilai-nilai pelajarannya gimana Bu?” Ibu yang pertama menjawab “Nilainya bagus-bagus Pak, sering saya heran dengan Anak saya. Ketika diajarin sesuatu sepertinya dia tidak perduli, tapi ketika dua atau tiga hari kemudian saya tanyakan tentang apa yang saya ajarkan dia malah ingat dengan baik”. “Bagaimana dengan Ibu?” Tanya saya kepada Ibu yang kedua. “Ketika awal sekolah nilainya bagus Pak, tetapi semakin lama semakin menurun. padahal setahu saya anak saya termasuk anak yang baik dan nurut pada orang tua” Jawabnya dengan nada rendah.

Permasalahan yang disampaikan oleh kedua Ibu tadi adalah permasalahan yang juga dihadapi oleh banyak orang tua saat ini. Pertanyaan seperti di atas sering muncul dalam setiap sesi seminar saya. Keluhan tentang anaknya yang oleh pihak sekolah di “cap” sebagai anak yang hiperaktif, tidak bisa diam, susah konsentrasi, dan dianggap nakal.
Sebagai orang tua, sayapun dapat memaklumi bagaimana perasaan para orang tua yang anaknya cenderung dianggap memiliki ciri-ciri anak hiperaktif oleh masyarakat umum khususnya pihak sekolah. Orang tua mana yang senang jika anaknya dianggap “bermasalah” dan menjadi “sumber masalah” bagi teman-temannya? Tentu saja tidak seorang pun.

Apa yang sebenarnya terjadi adalah bukanlah karena si anak yang “bermasalah”, akan tetapi seringkali dari pihak sekolah yang tidak mengerti “masalah” yang sebenarnya. Saya yakin bahwa setiap anak manusia yang dilahirkan adalah ciptaan-Nya yang sempurna. Sempurna dengan segala keunikannya. Sempurna dengan segala kemampuannya yang beragam. Bukankah Dia berkata bahwa “Sungguh Aku telah ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk.”

Hingga saat ini sistem pendidikan kita masih mengacu pada metode pendidikan dan psikologi yang konvensional. Sistem pendidikan kita masih menerapkan kaidah-kaidah pembelajaran yang kaku dan keliru. Anak dianggap normal ketika selama proses pembelajaran berlangsung cenderung berperilaku duduk diam (duduk manis), tidak banyak bergerak, pandangan mata selalu kedepan, tangan selalu memegang pensil atau pena, penurut, dan tekun mengerjakan sesuatu yang ditugaskan oleh gurunya. Di luar dari kriteria tersebut, anak dianggap TIDAK NORMAL atau HIPERAKTIF.

Seorang psikolog perkembangan anak dan sekaligus peneliti, Alison Gopnik, mengatakan bahwa begitu banyak pandangan-pandangan psikologi masa lalu yang sudah tidak relevan lagi dengan kemajuan pengetahuan tentang anak. Selama 30 tahun terakhir para ahli psikologi dan ilmuan peneliti otak telah berhasil menguak begitu banyak rahasia otak yang tidak terjelaskan lebih dari 70 tahun lamanya.

Dengan berkembangnya pengetahuan manusia tentang otak, apabila kita ingin melihat seorang anak itu normal atau tidak; maka acuan terbesarnya adalah pada struktur dan system kerja otak. Penggunaan aspek perilaku dalam pemberian kriteria apakah seorang anak itu normal atau tidak merupakan hal yang keliru. Perilaku setiap anak merupakan hasil dari proses berpikir dan program yang berjalan di dalam otaknya. Selanjutnya proses berpikir dan program ini sangat ditentukan oleh apa yang dilihat, di dengar, dan dirasakan anak terhadap lingkungan sekitarnya.

Dalam bukunya, Brain Child, Tony Buzan menjelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dengan segala keunikan fisik maupun mental. Tidak ada satu orangpun di muka bumi ini yang sama persis, bahkan dua orang kembar identikpun. karena inilah setiap anak memiliki cara berpikir berbeda, gaya belajar berbeda, dan respon berbeda terhadap sesuatu yang sama.
Selama lebih dari 30 tahun terakhir kita telah banyak membongkar tentang rahasia otak anak yang menunjukkan bahwa banyak sekali anak yang dulunya dikatakan sebagai anak hiperaktif namun ternyata adalah anak Kinestetik yang cara belajarnya mengandalkan pergerakan tubuh dan eksperiment. Anak-anak yang dulu dikatakan sebagai disleksia ternyata adalah anak yang lebih dominan menggunakan otak kanannya dalam belajar, dan banyak lagi.

Saya pernah memiliki pengalaman mengikuti sebuah workshop sehari yang mengharuskan pesertanya duduk diam selama berjam-jam dari pagi sampai sore, ditempat yang tidak memiliki system pendingin (AC), mendengarkan pemateri yang berbicara sambil duduk manis di belakang meja pemateri dan membacakan materi yang ditampilkan dilayar LCD dengan nada suara yang monoton. Meski yang memberikan materi adalah seorang professor, sepanjang workshop saya duduk gelisah sambil terkantuk-kantuk.

Jika Anda ikut serta dalam workshop tersebut, seperti apa perasaan Anda? Sebagai orang dewasa, secara umum kita akan merasa gelisah, bosan, dan terkantuk-kantuk apabila duduk selama lebih dari 2 jam tanpa boleh melakukan aktifitas lainnya selain memperhatikan kedepan, mendengarkan, dan mengerjakan perintah.

Nah, Anda tentunya bisa juga membayangkan bagaimana rasanya jika seorang anak diharuskan untuk duduk selama berjam-jam disebuah kursi yang sangat keras, di ruangan yang sama sepanjang waktu dalam rentang waktu berbulan-bulan sambil dipaksa memperhatikan seorang guru yang mengajar dengan cara monoton, suara yang datar, dan tidak bersemangat. Sementara kita tahu bahwa secara fitrah, seorang anak alaminya senantiasa bergerak, penuh rasa ingin tahu, selalu tertarik dengan sesuatu yang baru meski hanya beberapa menit.

Salah satu program mendasar pada pikiran manusia adalah tertarik pada sesuatu yang menurutnya menarik, penting, dan menyenangkan. Mari kita perhatikan secara seksama. Pada situasi tertentu, seorang anak, termasuk yang dianggap hiperaktif, tidak bisa diam, dan sulit konsentrasi dapat fokus pada suatu hal dalam durasi yang jauh lebih lama dibandingkan orang-orang dewasa. Dia akan tetap di tempat untuk memperhatikan objek tersebut meskipun orang tua atau guru sudah mengajaknya beranjak pergi. Pernahkah hal tersebut terjadi pada anak atau siswa anda…? Ya! saat Anda mendapatinya sedang asyik mengutak-atik sesuatu, bermain, membaca komik kesukaannya, atau ketika Anda mengajaknya berkunjung ke kebun binatang.

Dengan demikian, pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan adalah apakah anak yang sulit konsentrasi atau pelajarannya yang tidak menarik? apakah Anak yang tidak bisa diam ataukah gurunya yang menyampaikan pelajaran dengan gaya yang membosankan? Apakah anak yang “bermasalah” atau gurunya yang “bermasalah” karena tidak memahami tentang gaya belajar anak dan psikologi manusia? Ketty Pasek pernah berkata “Menurut saya sesungguhnya bukan anak kita yang hiperaktif, melainkan yang ada adalah sekolah yang hiperpasif.”

Selama ini sangat jarang orang tua maupun guru yang terus belajar bagaimana cara mendidik dan mengajar anak. Kebanyakan bisanya sekedar membidik dan menghajar anak. Sebagai orang yang perduli terhadap pendidikan dan masa depan anak, sebuah keharusan bagi kita untuk terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita tentang anak. Marilah kita terus melakukan transformasi dalam metode pengajaran dan pendidikan anak sehingga menjadikan proses belajar menjadi sebuah hal yang menyenangkan dan diidam-idamkan oleh setiap anak. Sudahkah Anda belajar sesuatu untuk anak Anda hari ini?

salam smart
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Facebook