Senin, 03 Maret 2008

FW: [Komunitas Singleparent] Ngoran lawas : Penanggulangan Tingginya Angka Perceraian

Republika: Selasa, 26 Februari 2008

Penanggulangan Tingginya Angka Perceraian

M Fuad Nasar
Badan Amil Zakat Nasional

Indonesia kini berada dalam peringkat tertinggi negara-negara yang
menghadapi angka perceraian (marital divorce) paling banyak dibandingkan
negara-negara berpenduduk Muslim lainnya. Berdasarkan data yang
diungkapkan Dirjen Bimas Islam Depag, setiap tahun ada dua juta
perkawinan.
Tetapi,
yang memprihatinkan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, yaitu
setiap 100 orang yang menikah, 10 di antaranya bercerai.

Tidak sedikit perceraian terjadi pada mereka yang baru berumah tangga.
Perkawinan yang banyak mengalami kegagalan sebagian besar adalah
perkawinan di kalangan Muslim. Tingginya angka perceraian bukan sebuah
fenomena yang wajar dalam kehidupan masyarakat.

Perceraian pada kalangan masyarakat menengah bawah terutama karena
faktor ekonomi. Tetapi, saat ini perceraian banyak terjadi pada lapisan
masyarakat menengah atas yang sudah mapan secara ekonomi dan sosial.

Dulu kondisi yang lebih parah pernah terjadi dalam dekade 1950-an, yaitu
sebelum berdirinya BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan) dan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan.
Penanggulangan
yang dilakukan pada masa itu ialah upaya yang dipelopori HSM Nasaruddin
Latif selaku perintis BP4 dan Kepala KUA Provinsi Jakarta Raya bahwa
setiap suami istri yang akan mengajukan perceraian pada Pengadilan Agama
harus terlebih dahulu datang ke kantor penasihat perkawinan untuk
sedapat mungkin dirukunkan dan diselesaikan perselisihannya.

Lembaga penasihat perkawinan ketika itu mengambil peranan sebagai
mediasi, yakni mencegah perceraian selagi belum diajukan ke Pengadilan
Agama.
Upaya
tersebut terbukti berhasil menurunkan angka perceraian secara
signifikan.

Kini pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap
lagi sebagai pranata sosial yang sakral sehingga ketika terjadi masalah
atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan utama. Padahal,
ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata.

Banyaknya perceraian belakangan ini juga ditengarai sebagai dampak
globalisai arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat melalui
multimedia yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga
mengungkap kasus perceraiannya. Penulis tertarik dengan pembinaan
perkawinan di Singapura sewaktu berkunjung ke negara tersebut menjelang
akhir 2007 lalu.

Setiap calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus pranikah yang di
Singapura disebut Kursus Bimbingan Rumah Tangga. Untuk calon pengantin
Muslim, peserta kursus bimbingan rumah tangga memperoleh sijil
(sertificate) yang diiktiraf oleh Jabatan Pernikahan Islam setempat.

Selain Singapura atau Malaysia, di beberapa negara Eropa nasihat sebelum
perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah
satu semester, sementara di Indonesia hanya sekitar 30 menit saat
berhadapan dengan penghulu. Prof Dr Zakiah Daradjat, ahli ilmu jiwa
agama yang banyak memberi perhatian terhadap masalah kesejahteraan
keluarga, pernah menyatakan jika kita tanyakan kepada orang tua yang
mempunyai anak yang sudah mencapai usia dewasa awal, bahkan usia remaja,
tentang apa yang mereka pikirkan, jawabnya hampir sama, yaitu masalah
jodoh bagi anaknya.

Jarang kita dengar tentang cara membekali putra putri mereka menghadapi
kehidupan berkeluarga kelak. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya
pemikiran orang tua tentang pembekalan putra putrinya yang telah di
ambang pernikahan.

Padahal, untuk suatu pekerjaan sederhana sekali pun, orang perlu
dipersiapkan. Namun, untuk menjadi seorang suami yang akan menjadi
kepala rumah tangga atau seorang istri yang akan menjadi pendamping
suami, pengatur kehidupan rumah tangga dan cepat atau lambat akan
menjadi pengasuh, pendidik, dan pembimbing anak-anak yang lahir di dalam
keluarga itu nanti, tidak ada kursus atau sekolahnya. Setiap pengantin
hanya diantar dengan doa, ditambah sedikit nasihat pernikahan dari orang
yang dipandang dapat memberikannya.

Di tengah tingginya potensi instabilitas rumah tangga dan banyaknya
perceraian, maka pendidikan dan pembekalan kepada pasangan yang hendak
menikah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Upaya
tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi nilai-nilai perkawinan di
semua level masyarakat maupun sebagai langkah untuk memperbaiki mutu
perkawinan dan mengurangi perceraian.

Pemerintah bersama BP4 perlu mengambil langkah strategis untuk
memperkuat lembaga perkawinan dan mengurangi perceraian. Langkah yang
dapat dilakukan ialah kewajiban mengikuti kursus pranikah dan bimbingan
rumah tangga bagi calon pengantin di seluruh Tanah Air.

Di samping itu, langkah lainnya ialah revitalisasi peran BP4 untuk
bertindak sebagai mediasi dalam penyelesaian kasus perceraian di luar
peradilan atau out of court settlement. Mengenai lembaga mediasi, perlu
dibahas secara lintas sektoral antara Departemen Agama dan Mahkamah
Agung dalam hal ini Direktorat Jenderal Peradilan Agama.

Penulis optimistis upaya di atas dapat mengurangi perceraian.
Berkenaan
dengan hal di atas, dalam Peraturan Menteri Agama RI tentang Pencatatan
Nikah perlu ditambahkan ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus
pranikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin yang akan
menyampaikan pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat
Nikah
(PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni
beberapa waktu lalu yang menginstruksikan kepada Direktorat Urusan Agama
Islam supaya membuat terobosan program guna memperkuat lembaga
perkawinan, di antaranya lewat pendidikan pranikah. Lembaga yang
ditugaskan untuk menyelenggarakan kursus pranikah dan bimbingan rumah
tangga itu adalah BP4 pusat dan daerah dengan sumber dana APBN dan APBD.

Di samping itu, dapat pula diselenggarakan oleh lembaga swasta secara
swadana dengan akreditasi dan sertifikasi diberikan oleh BP4. Jika bukan
sekarang, kapan lagi kita berbuat lebih serius memperkuat nilai-nilai
perkawinan dan rumah tangga di tengah masyarakat.

Pada hemat penulis, penguatan lembaga perkawinan sama mendesaknya dengan
penanggulangan bencana moral dan pergaulan bebas yang kini melanda para
remaja kita. Betapa tidak risau, norma standar dan nilai-nilai yang
seharusnya menjadi simpul pengikat perkawinan dan kehidupan rumah tangga
Muslim belakangan ini tampak semakin pudar pengaruhnya di masyarakat.

Semua kalangan tentu sepakat bahwa mempersiapkan perkawinan yang
mempunyai tujuan mulia sebagai ibadah kepada Allah Swt berarti
meletakkan fondasi yang kokoh bagi mahligai rumah tangga dan masa depan
satu generasi.
Begitu
pula menyelamatkan perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung
masalah berarti menyelamatkan satu generasi.

Tidak ada komentar:

Facebook