Selasa, 22 Januari 2008

[Komunitas Singleparent] Memaksimalkan Peran Ibu sebagai Pencerah Peradaban

Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar
dalam mewarnai dan rnembentuk dinamika zaman. Lahimya generasi-generasi
bangsa yang unggul dan pinunjul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral
tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas,
tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu.
Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, menyosialisasikan,
menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral,
kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai
luhur lainnya kepada seorang anak.
Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, `"pusat"
pembentukan nilai, atau "`pancer" penafsiran makna kehidupan, tak
seorang pun menyangsikannya. Hanya Malin Kundang saja yang arogan dan
menihilkan peran seorang ibu dalam membestirkan dan "memanusiakan"
dirinya.
Namun, seiring gerak roda peradaban, peran ibu sebagai pencerah
peradaban bakal menemui tantangan yang semakin berat. Setidaknya ada dua
tantangan mendasar yang harus dihadapi oleh seorang ibu di tengah
dinamika peradaban global. Pertama, tantangan internal dalam lingkungan
keluarga yang harus tetap menjadi sosok feminin yang lembut, penuh
perhatian dan kasih sayang, serta sarat sentuhhan cinta yang tulus
kepada suami dan anak-anak. Kedua, tantangan eksternal di luar "pagar"
rumahtangga seiring tuntutan zaman yang semakin terbuka terhadap
masuknya nilai-nilai mondial dan global yang menuntut dirinya untuk
bersikap maskulin.
Dalam menyikapi dan menyiasati dua tantangan mendasar itu, seorang ibu
jelas dituntut untuk semakin memaksimalkan perannya, memberdayaakan
potensi dirinya sehingga mampu tampil feminin dan maskulin sekaligus
dalam menerjemahkan dan menginternalisasi selera zaman yang mustahil
dihindarinya sebagai seorang ibu yang hidup pada era kesejagatan. Ini
artinya, fitrah seorang ibu tidak hanya "dicairkan" dalam lingkup
domestik, tetapi juga harus ditebarkan pada ranah publik, seiring dengan
semakin kompleks dan rumitnya masalah-masalah yang harus diatasi.

Peran Domestik
Dalam UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtero diungkapkan bahwa keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dengan anaknya
atau ibu dengan anaknya atau ayah dengan anaknya. Dari batasan lersebut,
peran seorang ibu dalam lingkup domestik atau dalam lingkup keluarga
memiliki entitas pengabdian yang tinggi. Ia menjadi "ruh"
keluarga yang akan menjadi penentu "mati hidupnya" sebuah paguyuban
batih (keluarga), menjadi "pelepas anak panah" keluarga sesuai sasaran
bidik yang dituju. Tidak jarang keluarga yang gagal dalam membangun
fondasi kesejahteraan lantaran kekurangsiapan seorang ibu dalam
menjalankan peran domestiknya.
Dalam konteks yang demikian itu, peran seorang ibu dalam memaksimalkan
fungsi keluarga menjadi semakin penting untuk mendapatkan perhatian
khusus. Yaumil Agus Achir mengungkapkan, setidaknya ada delapan fungsi
keluarga, yakni fungsi sosial budaya, cinta kasih,
perlindungan/proteksi, reproduksi, sosialisasi, pendidikan, ekonomi,
danfungsi pembinaan lingkungan. Meskipun tidak mutlak menjadi tanggung
jawab ibu sepenuhuya, kedelapan fungsi keluarga tersebut akan terwujud
dalam tataran praktik hidup apabila diimbangi dengan kesiapan,
kemampuan, dan kesanggupan seorang ibu dalam menjalankan fitrahnya di
lingkup domestik.
Arus modernisasi yang demikian gencar menawarkan pergeseran dan
perubahan pranata-pranata hidup dan nilai-nilai luhur buku, agaknya
memiliki imbas yang cukup kuat terhadap masyarakat dalam
menginternalisasi dan mengapresiasi fungsi keluarga. Keagungan sebuah
keluarga sebagai entitas sosial dalam menyosialisasikan nilai-nilai
luhur kepada para anggotanya, dinilai mulai semakin luntur. Para anggota
masyarakat dalam mengapresiasi fungsi keluarga mengalami pergeseran dan
perubahan. Keluarga tidak lagi dipandang sebagai "institusi" dan yang
menjadi satu-satunya wadah yang cukup akomodatif dan adaptif terhadap
selera dan atmosfer zaman yang sulit diduga.
Kondisi di atas, setidaknya juga dipengaruhi oleh pergeseran peran
orangtua, yang semula diyakini sebagai pihak yang bertanggungjawab
terhadap upaya pewarisan nilai dan tradisi, kini telah tereduksi sebagai
pihak yang secara biologis sekadar menghadirkan seorang anak ke muka
bumi. Bahkan, dalam banyak hal, orangtua sekadar dipahami sebagai pihak
yang hanya memiliki otoritas ekonomi dalam rentang waktu tertentu hingga
anak dinilai dewasa.
Seiring dengan itu, pandangan anak terhadap orangtua pun tidak lagi
"sakral" dengan bentuk penghormatan yang optimal dan proporsional.
Hubungan anak dengan orangtua melulu sebagai hubungan darah
"`kekerabatan" yang kehilangan basis moral dan spiritualnya. Tidaklah
mengherankan kalau generasi masa kini menjadi sulit menerima petuah dan
nasihat luhur orangtua. Mereka telah memiliki "referensi"
tersendiri yang cocok dengan gejolak naluri purbanya.
"Anak buah" teknologi yang begitu canggih mentransfer berbagai bentuk
kemasan informasi dan hiburan, menyebabkan anak menjadi rentan terhadap
imaji kekerasan, kemanjaan, kemunafikan, dan hipokrit. Anak menjadi
kehilangan kepekaan terhadap makna kearifan hidup. Sikap sabar, tawakal,
tabah, telaten, dan tahan uji -yang merupakan entitas moral yang
tinggi-telah menjelma ke dalam sikap hidup instan, kehilangan naluri
"proses" dalam mendapatkan sesuatu. Kota-kota besar yang sarat gebyar
materi akhirnya menjadi "ladang" subur bagi tumbuhnya generasi-generasi
zaman yang menanggalkan sikap responsifnya terhadap iklim spiritual.
Terjadi proses dereliginasi (pendangkalan agama), pembonsaian
nilai-nilai kemanusiaan, dan involusi budaya di kalangan generasi muda.
Bukan hal yang mustahil kalau sudah tak terbilang lagi jumlah remaja
kita yang terjebak ke dalam lembah seks bebas, pesta "pilsetan",
penyalahgunaan obat terlarang, tindak kekerasan, dan kriminal, atau ulah
amoral lainnya.
Fenomena yang penuh pengingkaran terhadap ajaran agama dan moral di atas
membutuhkan intensitas peran ibu sebagai pencerah peradaban dalam
lingkup keluarga, yang pada gilirannya nanti akan benar-benar mampu
melahirkan generasi-generasi bangsa yang unggul dan pinunjul, maju,
mandiri dan tahan uji, sehingga kelak sanggup menghadapi kerasnya
tantangan peradaban di era global.

Peran Publik
Persoalannya ialah ketika banyak kaum ibu berbondong-hondong
meninggalkan rumah, menggeluti peran publiknya sebagai wanita karier,
mampukah sang ibu memaksimalkan perannya di ranah domestik yang mustahil
dihindarinya? Sanggupkah sang ibu mengembalikan fungsi keluarga yang
ideal di tengah kesibukannya menggeluti profesi?
Pertanyaan semacam itu memang tidak mudah untuk dijawab. Peran ganda
yang harus diemban kaum ibu masa kini, sering tidak bisa berjalan
selaras dan serasi. Artinya, ada salah satu peran yang dikorbankan.
Dalam perspektif agama, kaum wanita (ibu) tidak dilarang untuk bekerja
di luar rumah. Dalam Islam, kita mengenal para istri Rasulullah yang
terkenal dengan keterampilannya di berbagai bidang. Aisyah sebagai ulama
dan perawi hadis yang disegani, Saudah mahir dalam hal kerajinan tangan,
bahkan Khadijah sukses dalam menggeluti bisnisnya. Namun, mereka toh
tetap mampu mewujudkan keluarga sakinah, tidak mengorbankan peran
domestiknya. Hal ini mengisyarakan, peran publik seorang ibu bukan
menjadi penghalang untuk memaksimalkan peran ibu sebagai pencerah
peradaban melalui lingkungan keluarga.
Yang penting dicermati kaum ibu ialah kejelian untuk memilih profesi
yang memungkinkannya untuk tetap mampu menjadi ibu yang lembut bagi
anak-anak dan istri yang setia terhadap suami. Artinya, pekerjaan yang
bisa melalaikan fungsi ibu sebagai "pusat" pembentukan nilai dan
"pancer" budaya keluarga, sebaiknya dihindari.
Huda Khaltab (1995:81-85) menyatakan, setidaknya ada tujuh bidang
profesi yang bisa dipilih kaum ibu agar peran domestiknya tidak
dikorbankan, yaitu bidang medis (dokter, perawat kesehatan, dan staf
rumah sakit), bidang penyuluhan {pekerja sosial dan penasihat), bidang
pengajaran (guru/tenaga administrasi), perancang dan penjahit, seni dan
keterampilan, kesekretarisan, serta bidang media dan penerbitan.
Proses globalisasi yang setidak-tidaknya menawarkan tiga iklim:
perdagangan bebas, hadimya teknologi komunikasi yang mahadahsyat, dan
keterbukaan gelombang informasi (Wasari, 1997), memang tidak mungkin
lagi memasung kaum ibu dalam kungkungan rumah tangga. Mereka juga
dituntut untuk memberdayakan potensi dirinya, mewujudkan kebutuhan akan
prestasi (need of achievement), dan mengaktualisasikan motivasi
intelektualnya. Dalam keadaan demikian, kaum ibu idealnya menjadi sosok
androgini; bisa tampil maskulin di ranah publik dengan capaian prestasi
yang seimbang dengan kaum pria, sekaligus tidak menanggalkan sifat
femininnya di ranah domestik yang tetap menjaga kelembutan, sikap
keibuan, dan ketulusan kasih sayang terhadap suami dan anak-anak. Dengan
sosok androgini ini, kaum ibu tetap akan mampu memaksimalkan perannya
sebagai pencerah peradaban; peran luhur dan mulia yang sudah teruji
lewat sejarah peradaban yang panjang, walaupun sang ibu sibuk meniti
karierdi pang-gung publik.

(Republika, 22 Desember 1997)

Tidak ada komentar:

Facebook