Rabu, 24 Desember 2008

bahan informasi dan renungan bagi para sp

Semoga bermanfaat buat kita semua....n maaf jika reposting


Perceraian dan Kesiapan Mental Anak


Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.
<http://www.e-psikologi.com/lain-lain/penulis.htm>


Jakarta, 18 April 2002


Mama..kenapa kita sekarang tinggal bersama Kakek dan Nenek?
Papa tinggal di mana, Ma? Kasihan ya Papa tinggal sendirian, nggak sama kita
lagi. Papa pasti kesepian deh, Ma. Yuk kita tinggal bareng Papa lagi, Adek
kangen... deh sama Papa.



Membaca percakapan di atas, tentulah kita sudah bisa membayangkan
apa yang terjadi dalam keluarga tersebut. Apalagi kalau bukan perceraian.
Angka perceraian di Indonesia mungkin tidak setinggi di Amerika Serikat
(66,6% perkawinan berakhir dengan perceraian) ataupun di Inggris (50%), tapi
kita tahu bahwa di Indonesia pun banyak perkawinan berakhir dengan
perceraian, apalagi kalau melihat berita-berita tentang perceraian
selebritis Indonesia akhir-akhir ini.


Kesiapan Anak Menghadapi Perceraian


Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang
terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat
menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis.
Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling
tinggi, setelah kematian pasangan hidup.


Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi
perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena
sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan
yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Tidak
demikian halnya dengan anak, mereka tiba-tiba saja harus menerima keputusan
yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan
bahwa hidup mereka akan berubah. Tiba-tiba saja Papa tidak lagi pulang ke
rumah atau Mama pergi dari rumah atau tiba-tiba bersama Mama atau Papa
pindah ke rumah baru. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah Mama
dan Papa sering bertengkar, bahkan mungkin ada anak yang tidak pernah
melihat orangtuanya bertengkar karena orangtuanya benar-benar rapi menutupi
ketegangan antara mereka berdua agar anak-anak tidak takut.


Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua untuk
dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun
alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun
dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik
daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan
yang buruk.


Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh
dan tak terhindarkan lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan oleh
orangtua (Mama dan Papa) untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut
bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan kata lain bagaimana
orangtua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi akibat perceraian.


Sebelum Berpisah


Sebelum perceraian terjadi, biasanya didahului dengan banyak konflik
dan pertengkaran. Kadang-kadang pertengkaran tersebut masih bisa
ditutup-tutupi sehingga anak tidak tahu, namun tidak jarang anak bisa
melihat dan mendengar secara jelas pertengkaran tersebut. Pertengkaran
orangtua, apapun alasan dan bentuknya, akan membuat anak merasa takut. Anak
tidak pernah suka melihat orangtuanya bertengkar, karena hal tersebut hanya
membuatnya merasa takut, sedih dan bingung. Kalau sudah terlalu sering
melihat dan mendengar pertengkaran orangtua, anak dapat mulai menjadi
pemurung. Oleh karena itu sangat penting untuk tidak bertengkar di depan
anak-anak.


Ketika Akhirnya Berpisah

Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa yang kritis buat anak,
terutama menyangkut hubungan dengan orangtua yang tidak tinggal bersama.
Berbagai perasaan berkecamuk di dalam bathin anak-anak. Pada masa ini anak
juga harus mulai beradaptasi dengan perubahan hidupnya yang baru.

Hal-hal yang biasanya dirasakan oleh anak ketika orangtuanya
bercerai adalah:

* tidak aman (insecurity),

* tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi,

* sedih dan kesepian,

* marah,

* kehilangan,

* merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua
bercerai.

Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi
dalam bentuk perilaku:

* suka mengamuk, menjadi kasar, dan tindakan agresif lainnya,

* menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul,

* sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga
prestasi di sekolah cenderung menurun,

* suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak
akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya tidak lagi bersama. Meski
banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap
bermasalah bahkan setelah bertahun-tahun terjadinya perceraian. Anak yang
berhasil dalam proses adaptasi, tidak mengalami kesulitan yang berarti
ketika meneruskan kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi
anak yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa perasaan
ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan ini dapat
menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut gagal dan takut
menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau lawan jenis.

Beberapa indikator bahwa anak telah beradaptasi adalah:

* menyadari dan mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak lagi
bersama dan tidak lagi berfantasi akan persatuan kedua orangtua,

* dapat menerima rasa kehilangan,

* tidak marah pada orangtua dan tidak menyalahkan diri sendiri,

* menjadi dirinya sendiri lagi.

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua

Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam beradaptasi terhadap
perubahan hidupnya ditentukan oleh daya tahan dalam dirinya sendiri,
pandangannya terhadap perceraian, cara orangtua menghadapi perceraian, pola
asuh dari si orangtua tunggal dan terjalinnya hubungan baik dengan kedua
orangtuanya. Bagi orangtua yang bercerai, mungkin sulit untuk melakukan
intervensi pada daya tahan anak karena hal tersebut tergantung pada pribadi
masing-masing anak, tetapi sebagai orangtua mereka dapat membantu anak untuk
membuatnya memiliki pandangan yang tidak buruk tentang perceraian yang
terjadi dan tetap punya hubungan baik dengan kedua orangtuanya. Di bawah ini
adalah beberapa saran yang sebaiknya dilakukan orangtua agar anak sukses
beradaptasi, jika perpisahan atau perceraian terpaksa dilakukan:

1. Begitu perceraian sudah menjadi rencana orangtua, segeralah
memberi tahu anak bahwa akan terjadi perubahan dalam hidupnya, bahwa nanti
anak tidak lagi tinggal bersama Mama dan Papa, tapi hanya dengan salah
satunya.

2. Sebelum berpisah ajaklah anak untuk melihat tempat tinggal yang baru
(jika harus pindah rumah). Kalau anak akan tinggal bersama kakek dan nenek,
maka kunjungan ke kakek dan nenek mulai dipersering. Kalau ayah/ibu keluar
dari rumah dan tinggal sendiri, anak juga bisa mulai diajak untuk melihat
calon rumah baru ayah/ibunya.

3. Di luar perubahan yang terjadi karena perceraian, usahakan agar
sisi-sisi lain dan kegiatan rutin sehari-hari si anak tidak berubah.
Misalnya: tetap mengantar anak ke sekolah atau mengajak pergi jalan-jalan.

4. Jelaskan kepada anak tentang perceraian tersebut. Jangan menganggap
anak sebagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jelaskan dengan menggunakan
bahasa sederhana. Penjelasan ini mungkin perlu diulang ketika anak bertambah
besar.

5. Jelaskan kepada anak bahwa perceraian yang terjadi bukan salah si
anak.

6. Anak perlu selalu diyakinkan bahwa sekalipun orangtua bercerai tapi
mereka tetap mencintai anak. Ini sangat penting dilakukan terutama dari
orangtua yang pergi, dengan cara: berkunjung, menelpon, mengirim surat atau
kartu. Buatlah si anak tahu bahwa dirinya selalu diingat dan ada di hati
orangtuanya.

7. Orangtua yang pergi, meyakinkan anak kalau ia menyetujui anak
tinggal dengan orangtua yang tinggal, dan menyemangati anak agar menyukai
tinggal bersama orangtuanya itu.

8. Orangtua yang tinggal bersama anak, memperbolehkan anak bertemu
dengan orangtua yang pergi, meyakinkan anak bahwa dia menyetujui pertemuan
tersebut dan menyemangati anak untuk menyukai pertemuan tersebut.

9. Kedua orangtua, merancang rencana pertemuan yang rutin, pasti,
terprediksi dan konsisten antara anak dan orangtua yang pergi. Kalau anak
sudah mulai beradaptasi dengan perceraian, jadwal pertemuan bisa dibuat
dengan fleksibel. Penting buat anak untuk tetap bisa bertemu dengan kedua
orangtuanya. Tetap bertemu dengan kedua orangtua membuat anak percaya bahwa
ia dikasihi dan inginkan. Kebanyakan anak yang membawa hingga dewasa
perasaan-perasaan ditolak dan tidak berharga adalah akibat kehilangan kontak
dengan orangtua yang pergi.

10. Tidak saling mengkritik atau menjelekkan salah satu pihak orangtua
di depan anak.

11. Tidak menempatkan anak di tengah-tengah konflik. Misalnya dengan
menjadikan anak sebagai pembawa pesan antar kedua orangtua, menyuruh anak
berbohong kepada salah satu orangtua, menyuruh anak untuk memihak pada satu
orangtua saja. Anak menyayangi kedua orangtuanya, menempatkannya di tengah
konflik akan membuatnya bingung, cemas dan mengalami konflik kesetiaan.

12. Tidak menjadikan anak sebagai senjata untuk menekan pihak lain demi
membela dan mempertahankan diri sendiri. Misalnya mengancam pihak yang pergi
untuk tidak boleh lagi bertemu dengan anak kalau tidak memberikan tunjangan;
atau tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan anak supaya pihak yang pergi
merasa sakit hati, sebagai usaha membalas dendam.

13. Tetap mengasuh anak bersama-sama dengan mengenyampingkan
perselisihan.

14. Memperkenankan anak untuk mengekspresikan emosinya. Beresponlah
terhadap emosi anak dengan kasih sayang, bukan dengan kemarahan atau celaan.
Anak mungkin bingung dan bertanya, biarkan mereka bertanya, jawablah
pertanyaan tersebut baik-baik, dan bukan mengatakan "anak kecil mau tahu
saja urusan Mama Papa".


Dari saran-saran di atas terlihat jelas betapa pentingnya kerja sama
orangtua agar anak dapat beradaptasi dengan sukses dan betapa penting arti
keberadaan orangtua bagi sang anak. Saran-saran di atas bukanlah hal yang
mudah dilakukan, apalagi jika perceraian diakhiri dengan perselisihan,
ketegangan dan kebencian satu sama lain. Keinginan untuk menarik anak ke
salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada
model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orangtua
sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri,
dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Mungkin ada yang
berpikir "Anak saya baik-baik saja kok, dia tidak apa-apa meskipun tidak ada
ibunya/ayahnya.. Lihat dia ceria-ceria saja, badannya sehat, sekolahnya juga
rajin". Tapi tahukah Anda apa sebenarnya yang ada dalam hati sang anak?


Kalau perceraian memang tak terhindari lagi, maka mari membuat
perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak.
Suami-istri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orangtua ikut juga
bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orangtua dan
menginginkan kedua orangtuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak,
rasa percaya diri, rasa diterima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung
pada ekspresi cinta kedua orangtuanya. Bagi Anda yang akan, sedang atau
telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan masa depan
anak-anak Anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat
tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi
menjadikan negeri ini semakin carut marut dengan membiarkan anak-anak kita
yang tidak berdosa menjadi terlantar. (jp)

Tidak ada komentar:

Facebook