Tadi malam S, anak M akhirnya melaksanakan ijab kabul dengan sederhana di rumahnya. Dia menangis sesenggukan ketika pasrah ijab untuk dilaksanakan wali hakim. Tangisan haru, bahagia dan juga ada rasa sedih karena bapaknya yang sudah meninggalkan keluarga tidak hadir.
Beberapa saat sebelum ijab qabul itu sang bapak sempat marah-marah karena merasa tidak dianggap. Walau sudah meninggalkan keluarga tanpa rasa tanggung jawab tetapi dia tetap merasa yang mempunyai hak untuk menikahkan anak perempuannya. Setelah diberi penjelasan bahwa secara hukum positif dia adalah bapak dari anak perempuannya tetapi bila ditelusuri kronologis dari tanggal lahir dan tanggal pernikahan dia tidak berhak menjadi wali nikah. Menurut petugas KUA pun menyarankan supaya yang menikahkan wali hakim karena dulu tatkala menikah, Mami sedang hamil mengandung anak yang kelak bernama S .
Permasalahan wali nikah ini pernah juga sempat menjadi diskusi hangat di masjid. Ada seorang naib yang ikut berdiskusi, dia secara hukum agama tahu menikahkan perempuan yang sedang hamil adalah tidak boleh tetapi kenyataanya dia tetap melakukan karena secara formal memang sulit menghindarinya.
Ada kasus dalam sebuah pernikahan. Menurut hitungan kronologis sang anak perempuan tidak berhak dinikahkan oleh bapaknya tetapi tetap saja sang bapak menjadi wali hakim. Berarti ada 2 hal yang dilanggar yaitu:
1) dulu ketika orang tua pengantin perempuan itu menikah tidak sah karena si ibu sedang hamil;
2) pada waktu anak perempuan menikah dengan wali sang bapak juga secara hukum tidak sah pernikahannya.
Kasus tersebut terjadi karena mereka belum tahu hukum agama dan petugas KUA kurang jeli meneliti berkas. Padahal hal-hal yang melanggar hukum seperti ini banyak terjadi yang menyebabkan terjadinya pernikahan yang tidak sah secara agama walaupun secara hukum positif di Indonesia sudah sah. Bila hal ini terus terjadi maka akan banyak terjadi pernikahan yang seharusnya batal demi hukum agama (dalam hal ini tentunya agama Islam) kalau tidak ingin banyak terjadi legalisasi zina dalam selubung pernikahan.
Tangisan si S semalam bisa jadi mengungkap lembaran sejarah orangtuanya yang tersimpan rapat. Wahai para bapak, bila anda kelak anda menikahkan anak sulung perempuan, bersiaplah menerima aib sejarah kehidupan yang rapat tersimpan.
(dari kasus diatas saya "sedikit lega", krn S ibarat anak saya, yang tdk perlu Ayah Kandungnya sebagai wali nikahnya nanti, krn sypun dulu MBA. Tapi disini lom jelas dalilnya dr mana,mungkin ada dari rekan SP yg tw dalilnya ttg kasus diatas?biar lebih jelas sebagai acuan dihari nanti)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar