Jumat, 18 Juli 2008

tinjau kembali keputusan Mbak untuk menggugat,


 
Aku kurang lebih setuju dengan pendapat Mas Rahman. Sebaiknya ditinjau kembali keputusan Mbak untuk menggugat, jangan sampai hanya didasari dengan emosi.

Setelah 2 tahun lebih berpisah, perasaan aku tetep masih campur aduk. Di satu sisi, aku mensyukuri keputusan aku untuk berpisah, dan rasanya uang jutaan yang dikeluarkan untuk membebaskan diri dari belenggu kesakit hatian (ceilah) rasanya sebanding dengan rasa lega yang saya dapatkan. Tapi setelah mengalami banyak pergulatan batin setelah berpisah, aku dan mantanku sekarang hubungannya sudah seperti teman (meskipun sifat kurang ajyarnya kadang2 masih teuteup .. cuman karena aku perasaannya "hampir" flat udah ga gitu jadi gangguan lagi). Dari mantanku juga kayanya dia udah banyak belajar dari apa yang dilewatin setelah aku ninggalin rumah, aku berasanya dia udah banyak bisa nahan emosi, makanya sekarang kita (biarpun masih sering berantem) tapi berantemnya ga seheboh dulu.

Memang, kesadaran itu, perubahan itu datang tidak instan. Melalui proses. Mungkin pengaruh umur kita berdua yang bertambah, ditambah pengalaman2 pasca perceraian, yang bikin kita jauh lebih arif ngadepin ini semua. Mungkin juga, ini kebetulan, yang sudah dirancang dari sononya.

Untuk mundur saat ini karena Mba sudah ajukan permohonan ke PA, sepertinya juga tidak mudah, dan kita juga tidak berharap Mba untuk bersikap gegabah. Jalankan semua sesuai dengan hati nurani Mba, dan yang pasti pilih pilihan yang Mba rasa terbaik untuk Mba dan anak. Buka pintu maaf sebesar2nya (tanpa musti mengemis kepada mantan suami). Gpp, masukan saja permintaan nafkah hadlanah (nafkah anak) dalam gugatan, klo mantan suami mau kasih ya syukur, ga juga yaudah itu urusan dia dengan Tuhannya. Kadang ada yang emosi dan karena keinginannya mau lepas sama sekali dengan mantan suami akhirnya ada yang ga mau minta nafkah, ada yang lgsg minta talak tiga. Kita kan belum tahu rencana Tuhan setelah ini Mba. Hubungan yang putus itu hanya hubungan suami dan istri, tapi tidak pernah ada yang namanya bekas anak atau bekas ayah, meskipun selama ini mantan suami tidak pernah menafkahi anak, tapi jangan kita tutup jalan dia untuk bertanggungjawab. Tetap berdoa minta pada Tuhan agar dia diberikan hidayah, Insya Allah, suatu hari, kalo Tuhan menghendaki, dia biarpun tidak bisa jadi suami yang bertanggungjawab, tapi dia bisa jadi ayah yang bertanggungjawab.

Terimakasih Mba, ini hanya sekadar masukan dari pengalaman aku. Pesanku, percaya pada kata hatimu, dan jangan berhenti memohon pada Tuhan.

Oia, masalah saksi, bisa siapa saja, yang penting tahu persis mengenai problem ini, dan bisa mendukung kita. Orangtua sebaiknya diberitahu Mba, karena memang cepat atau lambat, mereka tempat kita kembali pada akhirnya.

Biasanya, klo panggilan sidang patut (suami benar menerima panggilan sidang) tapi dia mangkir datang 2 kali berturut2, maka di sidang ke3 jadwalnya adalah pemanggilan saksi dan klo bukti2nya kuat, langsung jatuh putusan saat itu juga. Aku dulu juga gitu kok.

Tidak ada komentar:

Facebook