Minggu, 19 April 2009

Profesor Iwan Dwi : Perdebatan Puyer Mengarah ke Politis

 




Profesor Iwan: Perdebatan Puyer Mengarah ke Politis

Senin, 02 Maret 2009 | 08:20 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta: Ribut soal obat puyer, yang menurut pemberitaan media massa, memiliki potensi bahaya, misalnya pemberian obat berlebih (polifarmasi). Ikatan Dokter Indonesia beranggapan obat puyer tidak berbahaya. Perbedaan pandangan ini menimbulkan kebingungan di masyarakat.

Kata guru besar farmakologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Iwan Dwiprahasto, kontroversi puyer telah bergeser dari substansi ke arah politis. "Menurut saya, yang perlu diperhatikan adalah masalah keamanan. Ketika orang bicara masalah keselamatan pasien, puyer ini seharusnya tidak harus menjadi isu lagi," ujar Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Farmakologi Indonesia ini. Kepada reporter Heru C. Nugroho dan fotografer Arif Wibowo dari Tempo, Iwan menjelaskan kontroversi itu. Termasuk hasil penelitiannya tentang praktek pembuatan puyer, yang menemukan 87 persen tidak memenuhi kaidah teknis. Berikut ini petikannya.

Mengapa isu tentang bahaya puyer mengemuka saat ini?
Ada masalah substansi yang dilupakan orang. Orang hanya sekadar mengartikan bahwa puyer itu sesuatu yang disajikan untuk alternatif dalam pemberian obat. Kalau kita lihat ke belakang, ketika orang mulai mengenal obat, memproduksi obat, nah, variasi tersedianya obat masih terbatas, (yakni) tablet polos semuanya. Kemudian bingung, bagaimana sediaan untuk anak? Dosisnya kan tidak ada. Maka kemudian dicampurkan, sehingga puyer nggak jadi masalah.

Dalam perjalanannya, obat itu jenisnya beragam. Ada yang tablet salut selaput, ada salut gula, yang itu sama sekali nggak boleh dihancurkan saat diminum. Ia harus dalam bentuk aslinya. Sebab, kalau dijadikan puyer, akan rusak. Yang lainnya lagi, ada obat-obat yang dalam bentuk sediaan lepas-lambat. Artinya, kalau diminum, ia tidak boleh diabsorbsi di lambung, harus lebih ke bawah lagi, atau secara bertahap dilepaskan di dalam lambung. Kalau (obat ini) dipecah, akan meningkatkan risiko efek samping pada pasien.

Jadi, kalau saya melihatnya dari aspek ilmiah, (isu bahaya puyer) ini sudah bergeser dari masalah substansi ke masalah yang lebih ke arah politis. Artinya, perdebatan membelok dari arah yang semestinya. Menurut saya, yang perlu diperhatikan adalah masalah keamanan. Ketika orang bicara masalah keselamatan pasien, puyer ini seharusnya tidak harus menjadi isu lagi.

Jadi puyer itu tidak ada masalah?
Bukan nggak ada masalah dengan puyer. Justru sekarang jadi masalah karena sebetulnya sediaan obat untuk anak yang dibuat dengan proses fabrikasi, (yang) steril dan sebagainya sudah cukup banyak tersedia. Kok, orang masih saja menggunakan puyer. Jadi, singkatnya, pada era yang seperti ini, mestinya kita sudah menggantikan cara-cara tradisional yang nggak jelas manfaatnya dan risikonya lebih besar dari aspek higienis dan sebagainya.

Kira-kira sejak 10 tahun lalu, saya sudah mendengung-dengungkan masalah medication error, antara lain soal mencampur-campur obat. (Padahal) orang yang meresepkan obat dalam bentuk puyer itu tidak mengerti sifat dari masing-masing obat, sehingga berbahaya untuk pasien. Misalnya, obat A dan obat B yang seharusnya dipisah. Yang A diminum pagi dan yang B seharusnya pada malam. Tapi dengan diracik, lalu diminum pagi semua, akan meningkatkan risiko efek samping. Nah, ini yang harusnya diluruskan.

Sebenarnya puyer itu apa? Adakah bahayanya?
Puyer, sejauh proses pembuatannya dengan cara-cara yang benar, nggak ada masalah. Pertama, aspek teknis, harus dibuat di tempat yang bersih. Misalnya dicampur di lumpang, maka setiap kali sesudah digunakan oleh satu pasien, lumpang itu harus dibersihkan dengan cermat. Sebagian besar apotek, lumpangnya hanya satu dan dipakai terus, nggak pernah dicuci.

Kedua, masalah kompetensi. Yang meracik obat itu biasanya asisten apoteker yang punya keterbatasan dalam hal pengetahuan. Dia tidak diajari pengetahuan apakah beberapa obat yang diberikan bersamaan itu bisa berbahaya bagi tubuh atau tidak.

Ketiga, masalah pengetahuan. Bisa pengetahuan dokternya, bisa pengetahuan petugas apotek. Dokter meresepkan obat puyer, tujuannya meningkatkan ketaatan pasien dalam meminum obat. Ternyata, dalam perkembangannya, dokter itu tidak menyadari bahwa ada obat yang nggak boleh dicampur, ada sifat fisiko-kimiawi yang tidak bisa bercampur.

Contohnya mencampurkan antibiotik dengan obat penurun demam. Ini kan membahayakan si anak. Mengapa? Karena kontradiksi. Antibiotik harus diminum terus-menerus sampai habis, sedangkan obat penurun panas diminum saat demam saja. Bila obat dicampur, anak ini akan terpapar oleh obat yang nggak perlu. Ini akan berisiko efek samping.

Lalu soal pengetahuan pharmacist (ahli farmasi). Seberapa banyak sih apotek yang mencampurkan obat itu di bawah orang yang memang knowledgeable. Pharmacist itu bertanggung jawab sepenuhnya kalau ia melihat ada obat yang nggak boleh dicampur. Dia harus menghubungi dokter (yang meresepkan). Celakanya, pharmacist-nya juga nggak tahu bahwa itu nggak boleh dicampur. Daripada susah-susah menelepon dokter, apalagi dokternya marah kalau ditelepon, dia tidak lakukan itu.

Tiga hal inilah yang, bagi saya, menjadi titik tolak mengapa saya mengatakan bahwa kontroversi puyer ini sudah menyimpang dari substansi ke arah yang sedikit dipolitisir. Kalau tiga hal ini dibenahi dulu, akan kita peroleh hasil yang baik.

Artinya, kalau tiga aspek itu dipenuhi, puyer itu aman?
Aman. Tidak perlu ada rebut-ribut seperti saat ini. Masalahnya, siapa yang akan memonitor bahwa peracikan obat itu sudah dilakukan dengan benar berdasar tiga aspek itu?

Apa itu polifarmasi?
Polifarmasi itu definisinya adalah pemberian berbagai jenis obat untuk indikasi yang meragukan bagi kita. Misalnya, seorang pasien datang dengan keluhan batuk, pilek, demam, pusing dan pegal-pegal. Lalu, setiap gejala yang dikeluhkan diberi obat sendiri-sendiri. Padahal mestinya diobati secukupnya saja. Tidak "ditembak" satu per satu. Studinya banyak sekali yang menyebutkan, semakin banyak obat yang diberikan, semakin besar risiko terjadinya efek samping.

Bagaimana praktek pemberian resep puyer yang banyak terjadi di Indonesia?
Kami pernah meneliti, 87 persen tidak sesuai dengan kaidah teknis. Semuanya masih dengan cara tradisional, digerus, kemudian cara pembaginya juga salah. Coba kalau kita lihat, cara pembaginya ya hanya dikerok dengan kertas dan kemudian dibagi-bagi dalam beberapa bungkus. Antara satu bungkus dan bungkus lainnya tentu dosisnya sudah berbeda.

Kalau aspek teknisnya saja sudah salah, saya mengatakan jangan pakai puyer kalau apotek saja tidak bisa menjamin bisa melakukan dengan baik. Ada apotek yang mengatakan selalu mencuci. Kami menemukan 87 persen (lumpang) tidak dicuci. Bahkan kadang-kadang bisa saja berhari-hari baru dicuci karena merasa pasiennya banyak. Ini kan bahaya.

Mengapa dokter kerap meresepkan puyer, terutama untuk pasien anak?
Ini masalah ilmu tradisional. Mencampurkan obat menjadi puyer akan meningkatkan ketaatan (meminum obat). Daripada harus berkali-kali minum, lebih praktis jika sekali minum. Kedua, agar lebih cespleng (manjur).

Yang jelas, dengan puyer, zaman dulu, akan lebih murah karena jumlah obat yang masih terbatas. Misalnya, parasetamol itu harganya kan hanya Rp 30, lalu dicampur-campur dengan obat lain sehingga jadi murah. Tapi sekarang tidak lagi. Banyak dokter yang memberi resep bukan dengan obat generik, tapi dengan brand name drug (obat bermerek). Obat-obat yang mahal-mahal lalu dia campurkan, maka jadinya puyer itu mahal.

Mengapa dokter anak tidak mengubah kebiasaan meresepkan puyer ini?
Saya juga nggak tahu. Saya kira ini nanti tugas organisasi profesi. Ikatan Dokter Anak Indonesia mestinya mengambil inisiatif untuk melihat kembali apakah praktek itu masih benar. Di tempat-tempat terpencil, misalnya, memang sulit mendapatkan sediaan obat yang macam-macam. Jadi puyer mestinya masih bisa. Tapi di kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, misalnya, kan apotek sudah ada di mana-mana. Setiap 100 meter ada apotek, sediaan obat bermacam-macam, maka tidak masuk akal kalau dokter itu meresepkan puyer. Celakanya lagi, merugikan pasien. Untuk mengambil puyer itu kan harus menunggu lama. Lebih banyak mudaratnya dibanding manfaatnya.

Apa benar dokter-dokter Bangladesh dan India sudah tidak lagi meresepkan puyer?
Yang saya lihat di India, enam atau tujuh tahun lalu, masih ada resep puyer, tapi dilakukan oleh traditional healer, seperti dukun dan mantri-mantri di pelosok. Bukan dokter. Tidak ada resep di apotek berupa campuran beberapa obat. Apakah kita ini dokternya sekualitas mantri di India (tertawa)? Kecuali kalau mau menurunkan kastanya.

Apa yang harus dilakukan pasien dan keluarganya saat menerima resep obat dari dokter?
Pasien punya hak bertanya, hak minta dijelaskan, hak mengklarifikasi apa yang dia terima. Pasien punya hak bertanya obat ini jenisnya apa, kapan harus minum, dan sebagainya. Dokter harus menjelaskan, diminta atau tidak diminta.

Kalau, karena keterbatasan waktu, pasiennya banyak, jawabannya tidak enak, misalnya, dan pasien tidak mendapat informasi yang cukup, dia bisa menanyakan kepada apotek. Di apotek, harus ada pharmacist atau apoteker. Kalau apotek tidak ada pharmacist, itu sama dengan toko obat karena tidak ada orang yang kompeten atau bisa bertanggung jawab atas masalah-masalah yang berkaitan dengan obat.

Kalau perlu, minta klarifikasi. Misalnya puyer ini obatnya apa saja, tolong jelaskan. Bolehkah obat ini dicampur-campur seperti ini. Pasien juga berhak bertanya soal harga obat dan berhak meminta obat yang harganya lebih murah atau obat generiknya. Kadang-kadang apotek memang menjawab hanya menjalankan perintah dokter. Kalau apotek takut dikomplain dokternya, pasiennya kan bisa diminta tanda tangan bahwa pasiennya minta obat yang lebih murah dan memang tersedia. Daripada pasien tidak sembuh karena tidak bisa beli obatnya, lebih baik ada alternatif lain. Itu hak pasien untuk bertanya sampai di level apotek.

Benarkah calon dokter mendapat pelajaran matakuliah farmakologi tentang meracik puyer?
Farmakologi UGM sudah sejak lebih dari 10 tahun lalu tidak lagi mengajarkan ilmu meracik obat. Yang kita ajarkan, ketika menggabungkan obat, harus paham betul kondisinya seperti apa: darurat? Tidak ada sediaan obat yang ada di lapangan? Itu bisa dilakukan untuk keadaan khusus.

Mereka belajar meracik obat dari dokter-dokter senior?
Betul sekali. Celakanya itu, dalam proses pendidikan kan harus melalui magang di rumah sakit. Selama seniornya mempraktekkan meracik obat, dia merasa diajari yang benar. Maka kemudian mengikuti seniornya. Memang harus pelan-pelan (untuk menghilangkannya). Sekarang kita ikhlaskan kalau sekarang ini masih ada generasi yang meresepkan puyer. Tapi ingat, tidak semua puyer itu salah. Bayangkan Anda di Papua atau di daerah pedalaman yang ketersediaan obatnya sulit, puyer masih menjadi pilihan yang baik. Inilah yang kita bekalkan kepada mahasiswa, bukan mengajarkan tentang mencampur obat. Pada saat dalam kondisi sulit, apa yang bisa dilakukan. Inilah yang kita ajarkan.

Iwan Dwiprahasto
Lahir : Surabaya, 8 April 1962
Status : Menikah (istri Adi Utarini, dengan seorang putri)
Pekerjaan: Guru besar ilmu farmakologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Pendidikan:
Fakultas Kedokteran UGM (1987)
(Pharmacoepidemiology), Newcastle University, New South Wales, Australia (1992)
London School of Hygiene & Tropical Medicine, Inggris (2001)

Karier:
- Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Farmakologi Indonesia (2006-sekarang)
- Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FK UGM (2004-2008)
- Ketua, Komite Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan RSUP Dr Sardjito Yogyakarta (2004-2007)
- Board of Governor, International Clinical Epidemiology Network (2000-2007)

 
.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Facebook