Minggu, 19 April 2009

pro kontra obat puyer


 

di milis balita-anda dan sehat sudah dibahas, pd dasar nya kalo hanya
sakit yang ringan2 aja knp juga pakai antibiotika?

---------- Forwarded message ----------
From: najwa safina To: sehat@yahoogroups. <mailto:sehat%40yahoogroups.com> com

Ketika saya lulus menjadi seorang dokter, terus terang saya bagaikan
orang buta yang baru pernah melihat merasa senang kegirangan karena
status dokter yang saya sandang, tetapi masih meraba raba juga karena
belum tahu apa yang harus saya lakukan.

Menangani pasien pertama kalinya (sebagai seorang dokter tentunya)
merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Pasien datang, mendengarkan
keluhannya, memeriksa, dan memberikan obat.
Puas? Tentu saja puas rasanya. Pasien puas, karena keluhan berkurang
bahkan menghilang. Dan bulan berikutnya pasien ada keluhan mereka
kembali kepada saya karena merasa cocok dengan obat yang saya berikan.

Sebagai catatan ketika saya bilang pasien, termasuk orang tua pasien
untuk pasien saya yang tergolong anak anak. Anggap saja saya sedang
membicarakan pasien anak anak.

Tapi apakah saya sudah menangani pasien tersebut dengan baik? Tentu
saja TIDAK jawabannya.
Mengurangi keluhan pasien bukan berarti menyembuhkan, bahkan tanpa
disadari bisa membahayakan pasien.

Ada satu titik balik dimana saya menyadari terdapat kesalahan dalam
penanganan pasien saya selama ini, dan di kemudian hari saya bertemu
dengan komunitas yang membuat saya semakin belajar dan belajar setiap
harinya.

Sebelumnya puyer menjadi andalan saya, pasien (orang tua pasien) puas,
waktu yang dibutuhkan untuk menangani pasien jauh lebih singkat. Cukup
berkata: oh ini batuk pilek, obatnya cukup minum, 3 hari tidak sembuh
balik kembali.
Rutinitas yang saya lakukan selama sekitar 6 bulan pertama saya menjadi
dokter.

Sampai suatu saat saya menemukan suatu kejadian yang begitu menampar
saya.
Datanglah seorang pasien berumur 5 bulan, datang dengan keluhan mencret
mencret. Seperti biasa, meresepkan puyer sepertinya sudah ada cetakan
tersendiri di otak saya. Lalu saya berikan resep puyer yang kurang
lebih fungsinya menghentikan kerja usus, sehingga keluhan mencret
mencret berkurang.
Apa yang terjadi. Apakah puyer yang saya berikan menjadi solusi atas
kasus pasien saya? Ternyata tidak. Pasien saya tidak mencret lagi,
tetapi jatuh ke dalam kondisi dehidrasi sedang. Karena apa? Sudah
merasa yakin dengan puyer yang saya berikan, sehingga lupa dengan tata
laksana diare akut yang seharusnya, pemberian larutan rehidrasi oral.

Sejak saat itu saya menyesal, bukan hanya menyesali perbuatan saya yang
melupakan guideline, tetapi penyesalan itu dilanjutkan dengan
penyesalan dengan entah berapa resep puyer yang saya berikan.

Terkadang saya merasa, Tuhan sangat baik terhadap saya. Masih menuntun
saya, meskipun dengan tamparan, ke jalan yang seharusnya.

Ketika saya masih merasa tidak ada yang salah dengan puyer, tapi di
komunitas itu memperdebatkan penggunaan puyer. Lalu saya bertanya pada
diri saya sendiri. Saya yang salah atau mereka yang menentang puyer
yang tidak mengerti.

Lalu pertanyaan pertanyaan yang mengalir di komunitas itu membuat saya
lebih membuka mata saya, memanfaatkan teknologi canggih untuk
memperbaharui keilmuan saya. Dan ternyata sebenarnya itu bukan ilmu
baru, hanya saja saya yang terlalu malas dan bodoh untuk mengamalkan
pelajaran saya yang semestinya.

Mengapa saya harus memberikan puyer? Saya tidak hidup di daerah yang
terpencil. Dimana akses untuk obat obatan dosis anak mungkin sulit
sekali.
Dan kalaupun membutuhkan obat hanya satu jenis saja, tapi rasanya
parasetamol sirup bisa diusahakan, hanya kalau terdesak baru
menggunakan parasetamol tablet yang dihancurkan (note hanya parasetamol
tablet)

Ya... saya telah bermain main dengan 3 hal. Puyer, polifarmasi, dan
pengobatan yang tidak rasional.

Lalu kemanakah ilmu farmakologi saya. Menguapkah seiring dengan
kenaikan tingkat saya. Lupakah saya bahwa setiap obat dikemas sedemikan
rupa sesuai dengan cara penggunaannya. Lupakah saya dengan interaksi
obat. Dua obat yang dicampur saja risiko interaksi obat cukup berat,
apalagi tiga atau empat macam obat. Mungkin saya tidak lupa dengan
interaksi obat, tetapi saya tidak paham betul dengan interaksi obat.

Lalu dimana ilmu klinis saya. Apa iya setiap pasien dengan keluhannya,
yang diterapi adalah keluhannya bukan diagnosis atau penyakit itu
sendiri.

Apa iya saya harus memberikan puyer hanya karena pasien saya (orang tua
pasien) merasa hanya puyer yang manjur untuk keluhan anaknya.
Apa iya saya harus memberikan puyer hanya untuk mempersingkat waktu
kunjungan dibanding saya harus menjelaskan panjang lebar mengenai
diagnosis penyakitnya.
Apa iya demi semua kenyamanan orang tua, maka anak kecil harus menerima
risiko yang ditimbulkan oleh puyer.
Apa iya memberikan puyer supaya harga obat yang harus ditebus bisa
lebih murah? Lalu bagaimana dengan risiko penyakit yang ditimbulkan
dari puyer, apa bisa tergantikan dengan harga obat yang murah.

Saya tidak bisa membayangkan ketika parasetamol berinteraksi dengan
diazepam atau berinteraksi dengan luminal, akan menghasilkan metabolit
yang justru membahayakan hati anak tersebut yang nota bene belum
berfungsi dengan baik.
Baru parasetamol saja, belum obat obatan yang lainnya.

Saya belajar dan belajar lagi. Sekali lagi Tuhan sayang sekali kepada
saya.
Masih diberikannya kesempatan saya untuk memperbaiki diri saya.

Mengapa harus puyer? Jikalau keluhan yang disebabkan oleh virus sembuh
sendiri dan tidak membutuhkan terapi apapun. Mengapa harus puyer, jika
parasetamol sangat terjangkau dan dapat didapatkan di puskesmas dengan
gratis. Kalaupun tidak ada dosis yang sesuai, mengapa tidak sertakan
pemberian pipet atau spuit tanpa jarum untuk membantu pemberian obat.
Atau parasetamol tablet pediatrik pun bisa digunakan.
Apa tidak tahu bahwa anak batuk tidak boleh diberi obat batuk?
Apa tidak tahu bahwa diare tidak boleh diberi obat diare?
Apa tidak tahu bahwa muntah tidak boleh diberi obat muntah?
Lalu apa gunanya diagnosis? Terapi sesuai dengan diagnosis bukan "a
pill for an ill". Obat obatan simtomatik yang terkandung di puyer,
tidak menyelesaikan permasalahan, justru menimbun penyakit diam diam,
efeknya tidak hari ini tapi di masa depan.

Mengapa harus puyer, jikalau saya yang tidak paham mengenai
farmakodinamis dan farmakokinetik obat ini tidak berpikir secara
higinis. Bersihkah mortar tempat membuat puyer, dapat menjamin tidak
tercampur dengan bahan bahan lain atau tidak?

Mengapa harus puyer, jikalau saya yang harus menguasai keluhan umum,
harus membabi buta dengan memberikan puyer pada setiap keluhan pasien
tetapi tidak mengindahkan kaidah "good manufacturing practice", dan
apakah saya bisa menjamin bahwa campuran itu homogen dan pembagian
dosisnya sudah sesuai ditiap-tiap bungkus puyer itu.

Apa saya bisa menjamin semuanya. Menjamin bebas dari interaksi obat,
menjamin kebersihannya, menjamin bahwa obat itu fungsinya tidak berubah
ketika bentuknya tidak sesuai dengan yang seharusnya?

Apa disekitar saya begitu terbatasnya sehingga saya tidak bisa
memberikan obat yang berbentuk sirup?

Apa saya tidak bisa meyakinkan kepada pasien bahwa, yang diterapi
adalah penyakit/diagnosis bukan keluhannya?

Apakah dektsrometorfan, luminal, efedrin, diazepam, kodein, ambroksol,
bromheksin, papaverin, teofilin, antibiotik, dan beberapa jenis obat
lainnya yang sering diresepkan pada puyer anak sebegitu mendesaknya
untuk diberikan kepada anak sehingga melupakan kaidah pengobatan yang
seharusnya?
Apakah itu menjadi nilai ekonomis?

Jika puyer membantu, maka mengapa tidak ada standar dalam pembuatan
puyer?
Apakah setiap dokter sama seperti rumah makan memiliki resep tersendiri
dalam pemberian obatnya? Lalu apa bedanya ilmu yang dipelajari? Apa
gunanya Guideline, apa gunanya text book?

Sampai saat ini saya tetap berkata tidak kepada puyer untuk menghindari
diri dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan sebelumnya,
Karena menjadi dokter adalah amanah yang cukup berat. Memegang janji
antara saya dengan Tuhan saya Allah SWT. Jika saya tidak menggunakan
puyer semata mata saya takut dengan sang Khalik. Takut tidak
menjalankan amanah dengan sebaik baiknya.

--
najwa's lovely aunty: ordinary doctor ordinary person ordinary dreamer

.

__,_._,___

Tidak ada komentar:

Facebook