Minggu, 19 April 2009

Buku harian ayahku

Cerita sederhana tetapi indah dan cukup dalam maknanya dalam kehidupan
berumah tangga. Insya ALLAH dapat mendatangkan manfaat bagi anggota milis
ini, Amiin

Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak
pernah melihat mereka bertengkar. Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan
ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar
diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik, seorang suami yang baik
seperti ayah saya. Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya
sangatlah sulit. Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering
bertengkar hanya akibat hal - hal kecil dalam rumah tangga.

Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga
menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah. Tanpa mengeluarkan sepatah
kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah beliau berdiri
dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan
buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya. Sebagian besar
buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku buku tersebut
telah disimpan selama puluhan tahun. Ayah saya tidak banyak mengenyam
pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin
tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah
tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat
jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus
beberapa halaman kertas. Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah
saya baca dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupaka catatan hal hal sepele, seperti:

"Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol
untuk saya."
"Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia"

Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai
macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak
anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis
beberapa buku,arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang
air mata. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada
ayah "Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu"

Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga
bisa."

Ayah berkata lagi, "Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya,
tidakmungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan. Intinya
adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran. Setiap orang
memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka
mencari gara - gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu
itu saya bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan saya tuliskan
segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali
dalam hati saya penuh dengan amarah waktu menulis kertasnya sobek akibat
tembus oleh pena. Tapi saya masih saja terus menulis satu demi satu
kebaikannya, saya renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya
juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu"

Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah,

"Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?"

Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam
buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang
kala dimalam hari,menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan
saling
menertawakan pihak lain.

"Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang
berada di atas meja, tiba - tiba saya sadar akan rahasia dari suatu
pernikahan..

Cinta itu sebenarnya sangat sederhana :

INGAT dan CATAT KEBAIKAN dari orang lain - LUPAKAN SEGALA KESALAHAN dari
pihak lain

Tidak ada komentar:

Facebook