Jumat, 22 Agustus 2008

[cerita] Kuku, Gigi dan Cinta Seorang Perempuan



 
ini sebuah kisah..( haruskah Prempuan seperti kisah ini ),
rasanya miris tapi begitu tegarnya seorang Prempuan, ketika harus mempertahankan Pilihannya...


"Cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar tapi konstan dan (sayangnya)
rentan, sewaktu-waktu ia bisa saja meletus
memuntahkan lahar, menghanguskan apa saja yang ditemuinya. Cinta
perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari,
tapi tumbuh perlahan-lahan, diam-diam dan terus menerus bertambah. Jika
dipotong, ia tumbuh dan tumbuh lagi."
Perumpamaan di atas terilhami melalui sebuah dialog dalam adegan film
"Bulan Tertusuk Ilalang" karya Garin Nugroho.
Betapa menakjubkan. Dan kalimat itu mengingatkan saya pada kenangan
tentang sahabat saya dan mamanya ketika
masa-masa SMP-SMU dulu.

Kala itu, nyaris setiap hari saya main ke rumahnya yang jauh di selatan
kota. Saya tahu dia anak orang kaya.
Papanya, pimpinan sebuah instansi pemerintah terkemuka di kota saya dan
mamanya adalah ibu rumah tangga biasa. Saya
tak heran mendapati barang-barang bagus dan bermerk di rumahnya yang
masih dalam tahap renovasi. Sofa yang empuk,
televisi yang besar. Saya hanya bisa berdecak kagum sekaligus iri.

Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa isi rumah itu makin kosong dari
hari ke hari. Perabotan yang satu per satu
lenyap dan televisi yang ?mengkerut? dari 29 inchi ke 14 inchi.
Perubahan paling mencolok adalah wajah mama sahabat
saya. Suatu saat ketika ia berbicara, tak sengaja saya dapati suatu
kenyataan bahwa mama sahabat saya itu kini
ompong! Kira-kira 2-3 gigi depannya hilang entah kemana.
Saya tak berani ?lebih tepatnya tak tega ? untuk bertanya. Saya juga tak
mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan
sendiri. Yang jelas, sebuah suara, jauh di lubuk hati saya bergema :
"Sesuatu yang buruk telah terjadi di rumah
itu!"

Benarlah, tanpa diminta akhirnya sahabat saya datang berkunjung ke rumah
saya. Setengah berbisik, ia bercerita bahwa
papanya selingkuh dengan perempuan lain dan karenanya, nyaris tak pernah
pulang ke rumah. Dan ini bukan main-main,
perempuan itu hamil dan menuntut pertanggung jawaban papanya.
Dengan emosi ia bercerita bahwa papanya mengajaknya ke rumah perempuan
itu dan meminta sahabat saya untuk
memanggilnya dengan sebutan "Mama". Sebuah permintaan menyakitkan yang
langsung ditolak mentah-mentah oleh sahabat
saya. "Mamaku cuma satu" tangkisnya tegar saat itu. Dan misteri tentang
gigi mamanya yang tiba-tiba ompong,
barang-barang mewah dan perabot yang satu per satu menghilang dari
rumahnya pun terkuak sudah. Semuanya adalah
akibat ulah papanya jua.

Dan setengah frustasi ia mengadu pada saya bahwa ia harus menanggung
semua beban berat itu sendirian karena kakak
satu-satunya yang kuliah di luar kota tak peduli dan tak mau memikirkan
masalah itu. Mamanya pun ?yang lemah lembut?
tak bisa berbuat banyak dengan kelakuan suaminya. Ia cuma bisa pasrah,
gigi yang ompong itu buktinya. Dan saya?
Hanya doa dan motivasi yang bisa saya berikan agar sahabat saya itu
tabah dan tak putus berdoa.
Toh sekarang, setelah lama peristiwa itu berlalu, doa sahabat saya pun
dijawab oleh Tuhan. Ketika itu menjelang
kelulusan SMU, ia bercerita pada saya bahwa papanya sudah ?sembuh?,
bertobat, dan kembali ke pangkuan istri dan
anak-anaknya. Nasib the other women itu entah bagaimana. Sampai di sini
persoalan beres. Dan saya takjub
mendengarnya, senang sekaligus heran.

Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai semudah itu? Nurani
keadilan saya berontak. Saya tak habis pikir,
betapa mudahnya mama sahabat saya itu memaafkan dan menerima kembali
suaminya setelah semua yang dilakukannya.
Lelaki itu tak cuma berkhianat, tapi juga menyakiti fisiknya,
merontokkan gigi-gigi depannya, tak menafkahi
anak-anaknya dan nyaris mengosongkan isi rumahnya. Dan ia memaafkannya
begitu saja. Sebuah kenyataan yang ternyata
banyak juga saya temui di masyarakat kita. Perselingkuhan dan kekerasan
dalam rumah tangga yang bisa diselesaikan
dengan mudah, hanya dengan kata maaf. Mungkin inilah yang disebut orang
sebagai "CINTA"!

Papa sahabat saya adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung, dan
ketika ia meletus, laharnya meluap kemana-mana,
menghanguskan apa saja, melukai fisik dan terutama hati dan jiwa istri
dan anak-anaknya.
Mama sahabat saya adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku. Memang
cuma seujung jari, tapi cinta itu terus tumbuh,
tak peduli jika kuku itu dipotong, bahkan jika jari itu cantengan dan
sang kuku terpaksa harus dicabut, meski
sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan tumbuh lagi.

Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang saya yakin tak
cuma dimiliki oleh mama sahabat saya itu.
Cinta yang terwujud dalam sebuah tindakan agung : "Memaafkan". Sebuah
tindakan yang butuh kekuatan besar, butuh
energi banyak, yang anehnya banyak dimiliki oleh makhluk (yang katanya)
lemah bernama perempuan.


Haruskah tetap bertahan, kisah ini saya kutip dari sebuah milis Mom... ( hehehe...)

Nanda



Tidak ada komentar:

Facebook