Selasa, 11 Desember 2007

FW: Ungkapan jujur seorang anak

Subject: Fw: Ungkapan jujur seorang anak

Dear teman2,
Sayang saya baca tulisan ini setelah anak2 saya hampir lulus kuliah semua,
untungnya sebagian besar keinginan anak2 seperti itu sudah saya lakukan,
walau tidak sempurna. Mungkin dpt dijadikan pemikiran ntuk bpk/ibu semua.

      Ungkapan Jujur Seorang Anak

      Tahun 2005 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor.
      Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu
      itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
      Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang
      duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi
      itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat
      saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
      menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu
      murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya
      untuk melamun.
      Prestasinya kian lama kian merosot.

      Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika: "Apa yang kamu
      inginkan ?" Dika hanya menggeleng. "Kamu ingin ibu bersikap seperti
      apa ?" tanya saya. "Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat. Beberapa
      kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk
      mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.
      Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
      Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah
      untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan
      soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog
      yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan
      hasil testnya.

      Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas)
      dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi,
      bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada
      angka 140 - 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk
      kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
      Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah
      yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh
      sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar
      Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu
      menjalani test kepribadian.

      Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
      serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis
      yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah
      yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat
      kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati
      kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu
      membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh
      dari ideal.

      Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
      Dika pun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar
      saja" Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama
      ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas.

      Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan
      edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya
      menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain
      basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game
      di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi
      kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati
      permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang
      memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk
      sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu
      pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi
      ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain
      sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

      Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
      Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira
      artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku
      melakukan sesuatu".

      Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak
      mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan
      itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari,
      seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun
      pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan
      minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya,
      merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
      Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan
      oleh kebanyakan orang tua.

      Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
      Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam banyak hal
      saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras,
      disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu
      merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya
      ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang
      tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri
      kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam
      bentuk sachet kecil.

      Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
      Dika pun menjawab "Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak
      mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"


      Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap
      dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat
      kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa
      setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka
      anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan
      yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena
      orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga
      tidak tahu tindakan apa yang harus kami
      lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

      Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi
      kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari
      kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah
      adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu
      mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

      Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang
      ....." Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting
      saja". Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan
      kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk
      membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan
      pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang
      menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya.
      Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya diingatkan bahwa
      kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan
      Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu
      pengetahuan.

      Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....", Dika pun
      menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahan
      nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan
      tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya
      dan meminta maaf kepadaku".

      Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai
      manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika
      sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui
      kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti
      apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

      Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari
      ....." Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan
      lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia
      mencium dan memeluk adikku". Memang adakalanya saya berpikir bahwa
      Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk,
      apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman
      sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih
      indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang
      tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak
      diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

      Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari
      ...." Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan
      satu kata "tersenyum".

      Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan
      senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya
      senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan
      wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi
      anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari
      ayahnya setiap hari.

      Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku
      memanggilku. ..." Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku
      dengan nama yang bagus" Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia
      lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu
      Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu
      memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari
      kata "Lanang" yang berarti laki-laki.

      Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
      memanggilku .." Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli".
      Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo"
      karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa
      Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling"
      kata suami saya.

      Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu
      karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
      memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan
      pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
      Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan
      "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice" sebuah
      seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah
      Kewajiban, bukan Pilihan".

      Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah
      memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
      Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah
      polah
      anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga
      kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.
      Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun
      anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus
      diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua
      tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para
      orang tua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang
      baik.

      (Ditulis oleh : Lesminingtyas)

Tidak ada komentar:

Facebook