Senin, 24 Maret 2008

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974)

Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019

Tentang: PERKAWINAN

Indeks: PERDATA. Perkawinan.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan
hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.

BAB I

DASAR PERKAWINAN

Pasal 1

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 3

(1). Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami.

(2). Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang
bersangkutan.

Pasal 4

(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.

(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5

(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.

(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

BAB II

SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

Pasal 6

(1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam
garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan
dapat menyatakan kehendaknya.

(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam
daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan
atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih
dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal
ini.

(6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7

(1). Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.

(2). Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

(3). Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang
tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku
juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan
tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak
tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat
kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.

Pasal 11

(1). Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.

(2). Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri.

BAB III

PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal l3

Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 14

(1). Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu
dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.

(2). Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah
berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya,
yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat
(1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat
mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3
ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16

(1). Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.

(2). Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1)
pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

(1). Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada
pegawai pencatat perkawinan.

(2). Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan
pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai
pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau
dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang
mencegah.

Pasal 19

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal 20

Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau
membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran
dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan
Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan
menolak melangsungkan perkawinan.

(2). Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan
diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai
dengan alasan-alasan penolakannya.

(3). Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan
kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang
mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan
menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.

(4). Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut
ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5). Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang
mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin
dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IV

BATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu
dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah
hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami
isteri, suami atau isteri.

Pasal 26

(1). Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya
oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
isteri, jaksa dan suami atau isteri.

(2). Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan
dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama
sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang
dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27

(1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang
melanggar hukum.

(2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka mengenai diri suami atau isteri.

(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu
menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya
untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28

(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.

(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali
terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas
adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang
mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V

PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 29

(1). Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2). Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3). Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4). Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI

Pasal 30

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Pasal 31

(1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.

(2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

(3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Pasal 32

(1). Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2). Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan
memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34

(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

(3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

BAB VII

HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN

Pasal 35

(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.

(2). Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.

BAB VIII

PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA

Pasal 38

Perkawinan dapat putus karena :

a. kematian,

b. perceraian dan

c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39

(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.

(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 40

(1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

(2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX

KEDUDUKAN ANAK

Pasal 42

Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.

Pasal 43

(1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

(2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

(1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina
dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.

(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

Pasal 45

(1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.

(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Pasal 46

(1). Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang
baik.

(2). Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,
orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya.

Pasal 47

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.

(2). Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
didalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan
betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49

(1). Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas
dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang,
dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :

a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;

b. la berkelakuan buruk sekali.

(2). Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI

PERWALIAN

Pasal 50

(1). Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

(2). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.

Pasal 51

(1). Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan
di hadapan 2 (dua) orang saksi.

(2). Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau
orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik.

(3). Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta
bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak
itu.

(4). Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

(5). Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.

Pasal 52

Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.

Pasal 53

(1). Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut
dalam Pasal 49 Undang-undang ini.

(2). Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang
dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut
dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk
mengganti kerugian tersebut.

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama

Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55

(1). Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran
yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.

(2). Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada,
maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang
anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti
yang memenuhi syarat.

(3). Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua

Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56

(1). Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang
warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang
ini.

(2). Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali
diwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di
Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga

Perkawinan Campuran

Pasal 57

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan
perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut
cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan
Republik Indonesia yang berlaku.

Pasal 59

(1). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau
putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum
publik maupun mengenai hukum perdata.

(2). Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan
menurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60

(1). Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti
bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku
bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

(2). Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku
bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat
keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

(3). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan
memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan
banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan
itu beralasan atau tidak.

(4). Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).

(5). Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam
masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61

(1). Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

(2). Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan
lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan
atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4)
Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1
(satu) bulan.

(3). Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia
mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan
dihukum jabatan.

Pasal 62

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59
ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat

Pengadilan

Pasal 63

(1). Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;

b. Pengadilan Umum bagi lainnya.

(2). Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut
peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65

(1). Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik
berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan
anaknya;

b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau
berikutnya itu terjadi;

c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi
sejak perkawinannya masing-masing.

(2). Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari
seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah
ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

B A B XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang
ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67

(1). Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

(2). Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan
pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO

JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 2 Januari 1974

MENTERI/SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH.

MAYOR JENDERAL TNI.

Tidak ada komentar:

Facebook