Senin, 24 Maret 2008

Dampak Perkawinan Bawah Tangan bagi Perempuan

Dampak Perkawinan Bawah Tangan bagi Perempuan
http://www.solusihukum.com/artikel.php?id=20


Dampak Perkawinan Bawah Tangan bagi Perempuan

Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek

perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal, perkawinan

bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan. Beberapa info berikut,

mungkin bermanfaat bagi anda.

1. Apakah perkawinan bawah tangan

itu?

Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti

‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah

sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau

adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi

yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam).

2. Apakah Perkawinan Bawah Tangan

dikenal dalam sistem hukum Indonesia?

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’

dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun,

secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan

dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku,

khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal

2 ayat 2.

3. Akibat hukum perkawinan bawah

tangan

Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan

di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan

hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.

4. Apakah dampak dari Perkawinan

Bawah Tangan?

a. Terhadap Istri

Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan

umumnya, baik secara hukum maupun sosial.

Secara hukum:

- Anda tidak dianggap sebagai istri sah;

- Anda tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia;


- Anda tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara

hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;

Secara sosial:

Anda akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah

tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan

(alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan.

b. Terhadap anak

Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan

menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan

di mata hukum, yakni:

Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.

Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga

ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal

42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun

statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama

ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan

tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial

dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan

hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya

menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.

Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan

dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya

c. Terhadap laki-laki atau suami

Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi

diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan.

Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:

Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya

yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum

Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan

nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya

Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan

dan lain-lain

5. Apa yang dapat dilakukan bila

perkawinan bawah tangan sudah terjadi?

A. Bagi yang Beragama Islam

>> Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah

Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya

perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan

nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). Namun

Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian

perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya

salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No.

1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang

tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada

salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera

mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit

bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat

nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian.

Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan

dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta

Nikah dari pejabat berwenang.

Jangan lupa, bila anda telah memiliki Akte Nikah, anda harus

segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat

agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran

anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda

terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada

pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte

kelahirannya bukan lagi anak luar kawin.

>> Melakukan perkawinan ulang

Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan

harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat

perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status

bagi perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah

tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang

tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan

ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum

perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah

perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.


B. Bagi yang beragama non-Islam

» Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan

Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk

diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat

yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil

menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata

Usaha Negara).


» Pengakuan anak

Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan

anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar

perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan

baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada

intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai

hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang

baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan

anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam

pasal 284 KUH Perdata.

» MESKI DIAKUI SECARA AGAMA MAUPUN ADAT ISTIADAT,

PERKAWINAN BAWAH TANGAN ANDA DIANGGAP TIDAK SAH OLEH NEGARA

» PERKAWINAN BAWAH TANGAN HANYA MENGUNTUNGKAN SUAMI/LAKI-LAKI

DAN AKAN MERUGIKAN ANDA DAN ANAK ANDA

[LBH-APIK]

1 komentar:

Yuzki Amrullah mengatakan...

makasih buat artikelnya. gwa bs cari sumber pembelajaran lbh mudah. kapan kapan klo bs carikan dampak sosial dari club motor

Facebook